KONFERENSI Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949, dihadiri perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO –perwakilan berbagai negara yang diciptakan Belanda di Kepulauan Indonesia—begitu sengit.
Tambahan lagi masalah Papua Barat pun mencuat. Belanda merasa lebih berhak atas wilayah di bagian timur Kepulauan Nusantara ini.
Karuan saja Republik Indonesia menolak tegas. Maka sengketa ini semakin berlarut-larut, sampai pada 19 Oktober 1961, Belanda membentuk Komite Nasional Papua.
Bersama ini kekuatan militer dibangun lebih masif. Belanda melakukan pameran bendera bersama kapal-kapal perangnya.
Karuan saja ini semakin mengundang reaksi keras Pemerintah Republik Indonesia. Lantas pada 19 Desember 1961, Presiden Ir. Soekarno membacakan hal-hal yang dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional, yaitu Tri Komando Rakyat atau Trikora di alun-alun Yogyakarta.
Pada pagi hari, di Alun-Alun Utara Yogyakarta ini, Bung Karno menyampaikan tiga isi Trikora di hadapan ratusan ribu rakyat dari Yogyakarta dan luar daerah Yogyakarta.
Bung Karno berkobar-kobar menegaskan bahwa bendera Merah Putih harus berkibar di Irian Barat (Papua). Lantas pemimpin besar ini memobilisasi umum untuk mengambil kembali Irian Barat.
Isi Trikora yang sampai kini selalu menginspirasi adalah gagalkan negara boneka Papua, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di Papua, dan siapkan diri untuk mobilisasi umum. “Sang Saka Merah Putih” in Papua, and prepare ourselves for general mobilization.
Kemudian Soekarno bersama para pejabat tinggi Indonesia pada 6 Maret 1961, membentuk Korps Tentara Kora-1 dan Mayor Jenderal Soeharto menjadi panglima komandonya.
Nama kesatuan ini beberapa kali mengalami perubahan, dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) hingga menjadi Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Pada 11 Desember 1961, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan).
Jejak-jejak sejarah itu memberi ketegasan bahwa Papua ke pangkuan ibu pertiwi penuh perjuangan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati, masalah Papua telah selesai.
Bila hari-hari belakangan ini mencuat lagi masalah Papua dengan aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), maka bangsa ini tidak boleh diam.
Apalagi KKB punya motif untuk memisahkan Papua dari NKRI, tentu saja harus diberikan tindakan tegas. Jangan sampai motif mereka menjadi menguat dan menyebarkan teror, kejahatan, dan kekerasan demikian marajalela.
Kelompok Kriminal bersenjata (KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) kembali melakukan aksi kejahatan.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, sebagaimana disiarkan pers pada 18 April 2023, menegaskan bahwa jumlah prajurit TNI yang tewas dalam serangan KKB di Nduga, Papua berjumlah satu orang. Sementara itu, ada 4 prajurit lainnya masih dalam proses pencarian.
Serangan KKB terhadap satuan tugas dari Batalyon Infanteri Raider 321/Galuh Taruna terjadi di Distrik Mugi-Mam, Nduga Papua Pegunungan pada 15 April 2023.
KKB juga mengusir warga di Kampung Mambak Sugapa, Intan Jaya, untuk mengosongkan kampungnya dengan alasan akan berperang dengan aparat keamanan TNI-Polri.
Aksi teror kerap dilakukan KKB di berbagai wilayah di Papua. Dalam aksi serangannya, KKB sering mengeluarkan propaganda dan salah satunya fitnah terhadap pasukan TNI-Polri.
Sejumlah peristiwa yang ada memperlihatkan betapa KKB lihai menebar teror, baik kepada warga sipil maupun TNI dan Polri, seolah mengejek Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kondisi nihilisme penuh dilematis.
Dalam catatan sejarah, KKB pada 16 Februari 2021, di Boega, melakukan penganiayaan dengan menggunakan parang (pembacokan) pada belakang leher korban bernama Dejalti Pamean.
Pada 8 April 2021, penembakan yang menewaskan seorang guru bernama Oktovianus Rayo.
Pada 9 April 2021, melakukan penembakan yang menewaskan seorang guru bernama Jonatan Renden. Lalu 11 April 2021, pembakaran SMA Negeri 1 Beoga, serta pada 13 April 2021, melakukan pembakaran rumah Kepala SMP Negeri 1 Junaedi Sulele.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (12/4/2023), menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2022 telah terjadi 101 aksi yang dilakukan KKB di Tanah Papua.
Aksi teror tersebut mengakibatkan jatuhnya 104 korban, 52 meninggal, dan 52 orang terluka.
Sementara di sisi lain, KKB lihai menyelinap dalam dinding Hak Asasi Manusia (HAM). Maka aparat dihadapkan faktor dilematis. Bagaimanapun, KKB adalah sejumlah warga Indonesia juga.
Dalam pengertian ini pada dasarnya Negara mempunyai kewajiban menjamin hak asasi warga negaranya.
Kendati demikian, Negara juga punya hak untuk tidak memberikan toleransi pelanggaran HAM yang dilakukan warganya.
KKB selalu menggunakan kekerasan dan ancaman, serta melampaui batas-batas kemanusiaan. Negara punya hak untuk memberikan hukuman.
Namun, dengan mempertimbangkan Negara mempunyai kewajiban menjamin hak asasi warganya, tentulah Negara tidak boleh menupas begitu gegabah.
Jalan yang sudah ditempuh Negara adalah dengan pendekatan soft approach dan hard aprroach. Harapannya konflik di Papua bisa diselesaikan tanpa menimbulkan korban. Namun, KKB tetap beraksi menyebarkan teror, kekerasan, dan kejahatan.
Akar separtis di Papua muncul pada 26 Juli 1965, yang ditandai pertempuran Organiasi Papua Merdeka (OPM) dengan aparat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Percikan gerakan separatisme di Papua berkecambah. Kemudian muncul Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Lantas secara umum saat ini gerakan-gerakan tersebut dikelompokkan menjadi Kelompok Separatis Papua (KSP).
Kemudian mereka melakukan kekerasan terhadap warga sipil, aparat TNI-Polri, dengan menggunakan senjata yang mematikan (lethal), dikategorikan sebagai KKB.
Pada 2022, sebanyak 21 orang jadi korban KKB. Sementara sepanjang 2021, sedikitnya ada 18 orang meninggal termasuk peristiwa yang paling mengagetkan adalah Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua, Mayjen TNI Anumerta I Gusti Putu Danny Karya Nugraha gugur tertembak.
Kelompok separatis memang sejak dulu ingin merdeka dan berdiri sendiri. Mereka tidak sekadar melakukan kriminal biasa, namun ada keinginan besar di balik setiap aksi kriminalnya selama ini.
Perubahan istilah OPM ke KKB dimaksudkan untuk mengubah paradigma penanganan kaum separatis yang ada di Papua. Jika ada salah satu kelompok tertangkap, maka mereka akan ditahan karena alasan kriminalitas.
KKB juga punya motif agar Papua melepaskan diri NKRI. Definisi ini adalah ide dan motif gerakan separtis. Bisa saja pada awalnya motif ini muncul karena perasaan tidak adil, maka kecewaan ini diekpresikan dengan perlawanan.
Kendati begitu, ada motif yang tidak bisa nafikan begitu saja, ada pihak asing yang menginginkan kawasan tertentu dicaplok, maupun kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. Kepentingan yang kerap kali diidentikan dengan indikasi ekonomi dan politik.
Sewaktu Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu menjabat Menteri Pertahanan RI di Kabinet Kerja, sebagaimana dilansir kemhan.go.id, menegaskan bahwa KKB Papua adalah kelompok yang ingin Papua melepaskan diri dari NKRI. Berarti, sebagai gerakan separatis. Kabinet Kerja, as reported by kemhan.go.id, he emphasized that the Armed Criminal Group in Papua was a group that wanted Papua to secede from the Republic of Indonesia. This means they can be called a separatist movement.
“KKB sudah menjadi kelompok separatis yang mengancam keutuhan negara,” kata dia usai menghadiri ceramah bela negara di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jumat (15/03/2019).
Ada hal yang patut diselediki bahwa semakin lama persenjataan KKB semakin canggih dan bagus. Indikasi ini tidak boleh diremehkan. Pada 11 April 2023, gudang amunisi KKB terbongkar usai anak buah Egianus Kogoya, yaitu Yomce Lokbere atau YL ditangkap tim gabungan TNI dan Polri.
Yomce diketahui terlibat aksi pembakaran pesawat Susi Air dan menyandera pilot Capt Philip Mark Mahrtens.
Pertanyaannya: mereka mendapatkan senjata dari mana? Apakah dari “luar” yang diselundupkan, atau dari rampasan senjata aparat?
Hal yang pasti adalah selain mereka memiliki senjata, kelompok ini memiliki agenda kampanye politik luar negeri yang menyuarakan kemerdekaan Papua kepada kedutaan-kedutaan asing.
Pada dasarnya, secara holistik bahwa konstelasi keterlibatan agen-agen rahasia negara asing dalam gerakan separatis, bisa terjadi dalam belahan dunia ini, maka di Indonesia sangat mungkin terjadi.
Oleh karenanya, operasi-operasi rahasia yang dilancarkannya tak lain sebagai bagian dari campur tangan asing —hal ini juga dalam sejarah peradaban bangsa bukanlah hal baru.
Tujuan keterlibatan asing jelas demi mengamankan kepentingan geostrateginya –baik ini menyangkut kepentingan geopolitik maupun geoekonomi.
Mendasari ini, selain memainkan peran memperkuat pengaruh kawasan juga memberi “bantuan”. Bantuan ini sebagai alat pengikat.
Persoalan ini menjadi dilematis dan berbahaya ketika “kelompok” masyarakat di dalam negeri bersedia menerima bantuan-bantuan itu.
Mereka tidak memedulikan keselamatan negara. Bahkan semakin berbahaya saja ketika mereka menerima bantuan dari negera asing justru untuk mendirikan negara.
Menilik hal itu, maka tidak mustahil bahwa sekiranya campur tangan asing lewat operasi rahasia berlangsung, demi kepentingan pihak tertentu maupun separatis.
Jaringan kerja antarbangsa dimanfaatkan semaksimal mungkin, yang semakin memungkinkan unit ini menyebarkan pengaruh demi memperkuat kepentingan geostrategi, geopolitik, maupun geoekonomi.
Kelompok separtis adalah kelompok yang paling disukai untuk dirangkul demi keperluan-keperluan tersebut.
Semua ini untuk dijadikan “pengaman” kepentingan asing, dan sekaligus menjadi senjata yang ajaib dan memperkuat dan memperkukuh kedudukan kelompok antipemerintah atau antinegara.
Indonesia adalah negara multiras, multietnis, dan multikultural di dunia. Berpenduduk terbanyak ke-4 di dunia dengan jumlah mencapai 274.790.244 jiwa pada 2022.
Juga sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah sebesar 1.904.570 km, dengan 17.504 pulau, menjadi negara dengan pulau terbanyak ke-6 di dunia.2, with 17,504 islands, it is the 6th most island country in the world.
Dengan geostrategi demikian, maka Indonesia butuh geopolitik yang kukuh untuk menancapkan sistem pertahanan dan keamanan yang mumpuni. Untuk itu bersamaan pula harus diperhatikan dasar-dasar dan pokok-pokok bagi Pertahanan Nasional.
Dari sini serempak maju dalam keserasian mewujudkan ketahanan bisa leluasa diimplementasikan, sehinga ketahanan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun ketahanan di bidang militer menemui kesinambungan.
Rakyat melihat bahwa kesinambungan itu kebutuhannya demi kekuatan dan kedaulatan bangsa. Amanat Mukadimah UUD 1945 juga memberikan misi dan visi demikian, yang berpangkal pada kekuatan bangsa.
Dengan demikian pertahanan dan keamaan dibangun untuk mendeteksi, menghadapi, serta menghancurkan ancaman dari luar yang mencampakkan kedaulatan bangsa dan negara.
Pertahanan dan keamanan yang diarahkan terhadap ancaman dari dalam maupun dari luar negeri bersumber pada Mukadimah UUD 1945 yang di dalamnya memuat Pancasila.
Lantas untuk mengetahui derajatnya, maka perlu di dalam perkiraan tentang kerawanan dan kemampuan di segenap bidang kehidupan bangsa, yang diwujudkan berdasarkan maha-sumbernya Pancasila.
Proses pengintegrasian pertahanan dan keamanan yang terjadi juga berlandaskan Pancasila. Hal ini, guna dapat memadukan dan mengkoordinasikan deferensiasi dan sifat-sifat dari setiap Angkatan, sesuai dengan pertumbuhan dalam revolusi.
Keadaan ini menjamin sepenuhnya pengokohan Pertahanan Nasional, yang merupakan penentuan bagi timbul-tenggelamnya Negara.
(Prof. DR. Drs. Ermaya Suradinata, SH, MH, MSI, adalah mantan Dirjen Sospol Depdagri RI, Rektor IPDN, Gubernur Lemhannas RI, dan saat ini Dewan Pakar Bidang Geopolitik dan Geostrategi BPIP RI.)