Strategi Geopolitik
Membangun Ibu Kota Negara Bukanlah Cepat Selesai

Ibu kota IKN

Oleh: Prof. Dr. Drs. Ermaya Suradinata, S.H., M.H., M.Si

Editor: Dhania Puspa Purbasari

Dr. Dino Patti Djalal, M.A. yang juga Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia (2014), dalam video yang tersebar luas di masyarakat menyampaikan 3 Pedoman Ibu Kota Negara. Yakni,

1. Pembangunan Ibu Kota Negara (Jangan dikaitkan dengan siklus politik Indonesia) tidak harus bisa dipakai sebelum pergantian pemerintahan di bulan Oktober 2024;

2. Tidak perlu menjadikan Ibu Kota Negara sebagai kota internasional. Kita membangun Ibu Kota Negara semata-mata untuk bangsa Indonesia, bukan untuk dunia internasional; dan

3. Bangunlah Ibu Kota Negara dengan kemampuan dan sumber daya kita sendiri.

Pedoman tersebut menjadi relevan manakala pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari DKI Jakarta ke Nusantara, yang terletak di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, mencerminkan transformasi geopolitik signifikan di dalam negeri. Dari itu pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur ini haruslah dinilai sebagai sebuah keputusan strategis, karena berdampak jangka panjang dalam geopolitik dan geostrategi.

Dengan strategi yang terencana matang serta komitmen yang kuat, maka Indonesia memiliki peluang besar untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang efisien dan modern, serta menjadi simbol kedaulatan dan kemajuan negara ini dalam 15 hingga 20 tahun ke depan. Di sinilah menjadi jelas bahwa pemindahan ibu kota Indonesia bukanlah keputusan yang boleh diambil secara terburu-buru, terutama saat dipertimbangkan dari perspektif geopolitik dan geostrategi.

Maka pembangunan Ibu Kota Negara tidak harus tergesa-gesa untuk selesai sebelum pergantian pemerintahan di bulan Oktober 2024. Proses pembangunan kota baru memerlukan perencanaan yang matang dan eksekusi yang hati-hati untuk memastikan keberlanjutannya, dan efektivitasnya sebagai pusat pemerintahan yang baru.

Memaksakan penyelesaian proyek besar ini dalam kurun waktu yang singkat dapat berdampak pada kualitas infrastruktur yang tidak optimal serta mengabaikan aspek-aspek penting lainnya seperti lingkungan, sosial, dan ekonomi. Oleh karena itu, penting untuk fokus pada kualitas dan keberlanjutan jangka panjang daripada tenggat waktu yang ketat.

Terlebih pemerintahan baru Prabowo Subianto yang akan berkuasa mulai Oktober 2024 telah memberikan isyarat akan mengambil strategi berbeda dalam pembangunan Ibu Kota Negara yang baru. Dalam Qatar Economic Forum di Doha pada 15 Mei 2024, Prabowo menekankan bahwa Ibu Kota Negara merupakan proyek politis yang harus dibiayai oleh sumber daya dalam negeri. Pendekatan ini menunjukkan komitmen untuk meningkatkan kemandirian finansial dan mengurangi ketergantungan pada investasi asing, yang sering kali disertai dengan berbagai syarat dan kepentingan yang dapat mempengaruhi kedaulatan negara.

Perihal kemandirian itu pula yang pernah ditanamkan bangsa ini oleh Bung Karno. Di mana Bung Karno mencetuskan gagasan Trisakti yang mencakup tiga aspek penting: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan. Artinya, kedaulatan politik negara memiliki otoritas penuh dalam mengelola urusan dalam dan luar negeri, serta mampu menjaga integritas wilayah dan stabilitas nasional.

Sedangkan berdikari dalam ekonomi adalah aspek kedua dari Trisakti yang menekankan pentingnya kemandirian ekonomi. Bung Karno menginginkan Indonesia tidak tergantung pada bantuan atau intervensi ekonomi dari negara lain. Kemandirian ini dicapai melalui pengembangan industri dalam negeri, peningkatan produksi pertanian, dan pengelolaan sumber daya alam secara optimal.

Dengan berdikari, Indonesia diharapkan mampu memenuhi kebutuhan domestik, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memiliki daya tawar yang kuat dalam perdagangan internasional. Ini juga berarti meminimalkan ketergantungan pada impor dan meningkatkan ekspor produk-produk lokal yang memiliki nilai tambah tinggi.

Oleh karena itu dengan konsepsi kemandirian itu pula maka dana yang tersedia dari APBN untuk membangun Ibu Kota Negara, harus dialokasikan dengan cermat, mengingat banyaknya kebutuhan pembangunan di sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Mempertimbangkan ini pula pembangunan Ibu Kota Negara diperkirakan akan memakan waktu yang cukup lama. Sehingga dalam konteks ini, strategi pemerintahan baru Prabowo Subianto untuk membiayai proyek Ibu Kota Negara dengan sumber daya dalam negeri, juga membuka peluang untuk memberdayakan industri lokal dan menciptakan lapangan kerja.

Hal tersebut akan menjadi stimulus bagi perekonomian domestik, sekaligus memperkuat kapasitas nasional dalam mengelola proyek-proyek besar. Selain itu, dengan memaksimalkan potensi lokal, proyek ini bisa menjadi simbol kemandirian dan kedaulatan Indonesia. Dalam jangka panjang, meskipun memakan waktu lebih lama, pendekatan ini bisa menghasilkan Ibu Kota Negara yang lebih berkelanjutan dan berakar kuat pada kekuatan bangsa sendiri.

Pembangunan Ibu Kota Negara harus dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan dan sumber daya yang bangsa ini miliki sendiri. Mengandalkan sumber daya lokal tidak hanya akan meningkatkan kemandirian bangsa, tetapi juga mendorong pengembangan industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan memacu inovasi teknologi lokal. Sehingga tidak ada intervensi dari negara asing, termasuk intervensi geopolitik. Di mana intervensi geopolitik oleh negara asing merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Negara asing menggunakan berbagai strategi, mulai dari tekanan diplomatik hingga campur tangan ekonomi, untuk mencapai tujuan mereka di negara tujuan. Intervensi semacam ini sering kali melibatkan agenda politik tersembunyi yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan politik, ekonomi, atau keamanan negara sasaran.

Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memperteguh konsepsi kemandiri Trisakti yang diamanat Bung Karno, maupun mengimplementasikan kebijakan luar negeri yang cerdas dan mempertahankan kedaulatannya dalam menghadapi tekanan dari luar. Bisa saja jalurnya melalui kerja sama regional yang erat, di mana Indonesia dapat membangun konsensus yang mendukung kedaulatannya dan menjaga stabilitas di kawasan Asia Tenggara.

Bangsa ini harus waspada terhadap risiko intervensi geopolitik dari negara asing. Intervensi ini bisa datang dalam berbagai bentuk, mulai dari tekanan diplomatik hingga pengaruh ekonomi melalui investasi besar-besaran di proyek-proyek strategis. Bersamaan pula pemerintah harus memastikan bahwa keputusan terkait pembangunan Ibu Kota Negara diambil secara otonom dan bebas dari tekanan eksternal.

Prof. Dr. Drs. Ermaya Suradinata, S.H., M.H., M.Si. adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Kini menjabat Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI), Ketua TIM Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI.

id_IDIndonesian