By: Prof. Dr. Drs. Ermaya Suradinata, S.H., M.H., M.S.
Editor: Dhania Puspa Purbasari
Pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam penutupan Kongres PAN ke-VI, beberapa hari lalu, karuan saja menarik perhatian publik karena mengangkat isu krusial mengenai dinamika kekuasaan di Indonesia. Prabowo secara tegas menyinggung adanya pihak-pihak yang terlalu berambisi dalam mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak etis.
Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto menyoroti betapa bahayanya ambisi kekuasaan yang tidak terkendali dalam ranah politik. Ketika kekuasaan dijadikan tujuan utama tanpa mempertimbangkan etika dan moral, maka proses politik berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan yang penuh intrik dan manipulasi. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakstabilan dalam sistem politik, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap para pemimpin dan institusi negara.
Penyalahgunaan kekuasaan sering kali mengacu pada tindakan yang diambil untuk memperkuat posisi pribadi, atau kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kepentingan umum. Praktik ini menciptakan ketidakadilan, merusak institusi negara, dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketika pemimpin mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok di atas kepentingan rakyat, mereka tidak hanya mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi tetapi juga membahayakan stabilitas politik dan sosial.
Di sinilah pentinganya secara urgen merealisasikan kepemimpinan yang ideal, yakni kepemimpinan yang didasarkan pada moralitas dan integritas. Moralitas dalam kepemimpinan berarti menjalankan kekuasaan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran akan dampak dari setiap keputusan. Integritas, di sisi lain, melibatkan konsistensi antara kata-kata dan tindakan, serta komitmen untuk selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.
Visi kenegarawanan ini bersamaan pula menekankan pen¬tingnya Pancasila dan UUD 1945 sebagai fondasi kepemimpinan. Ini mencerminkan komitmen mendalam untuk kembali kepada nilai-nilai dasar yang membentuk identitas nasional Indonesia. Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar simbol, melainkan panduan moral yang harus diikuti dalam setiap keputusan politik. Dengan menempatkan prinsip-prinsip ini sebagai landasan, tentulah pemimpin menunjukkan tekadnya untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan dengan cara yang menghormati nilai-nilai kebangsaan dan etika, serta tidak menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Pancasila, sebagai ideologi negara, mengandung nilai-nilai yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelima sila dalam Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menyediakan kerangka moral dan etika yang seharusnya memandu setiap kebijakan dan tindakan politik.
Sedangkan UUD 1945, sebagai konstitusi negara, mengatur mekanisme kekuasaan dan hak-hak dasar warga negara. Dokumen ini berfungsi sebagai pengaman untuk memastikan bahwa segala bentuk kekuasaan tidak disalahgunakan. Dalam konteks kepemimpinan, UUD 1945 menyediakan panduan tentang bagaimana kekuasaan harus dijalankan secara adil dan demokratis.
Dengan mengedepankan Pancasila dan UUD 1945, maka di sini tertegaskan bahwa kepemimpinan yang ideal adalah yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip konstitusi, serta menjunjung tinggi integritas dan moralitas dalam setiap keputusan yang diambil. Dari itu kekuasaan tidak boleh dijalankan dengan cara yang merugikan kepentingan umum atau mengabaikan etika.
Dalam politik, godaan untuk menghalalkan segala cara demi kekuasaan seringkali kuat. Tetapi prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945, justru berfungsi sebagai pengingat bahwa setiap tindakan harus selalu memperhatikan kepentingan bangsa dan integritas individu. Kepemimpinan yang baik, adalah kepemimpinan yang tidak hanya berfokus pada hasil jangka pendek. Melainkan pula pada bagaimana proses pengambilan keputusan dilakukan dengan menghormati nilai-nilai kebangsaan dan moral.
Jadi jelaslah bahwa Pancasila dan UUD 1945 sebagai panduan utama dalam kepemimpinan, dan hal ini menunjukkan upaya strategis untuk memperkuat kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Dari itu Pancasila dan UUD 1945 tidak hanya merupakan landasan hukum dan ideologis, tetapi juga merupakan konsensus dasar yang harus mengarahkan setiap kebijakan dan tindakan politik.
Lantaran itu harus dicamkan bahwa politik yang didominasi oleh ambisi pribadi, dan kelompok, sering kali merusak tatanan demokrasi serta mengabaikan kepentingan rakyat. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini telah menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap para pemimpin yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, konflik kepentingan dan polarisasi menjadi lebih tajam, yang pada gilirannya mengancam integritas dan persatuan nasional.
Ketika kekuasaan diperoleh dan dipertahankan dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi, maka keadilan dan kesetaraan akan tergeser oleh kepentingan segelintir elit politik. Untuk mengakhiri siklus ini, dibutuhkan komitmen kuat dari para pemimpin untuk mengedepankan integritas dan tanggung jawab, serta memastikan bahwa setiap kebijakan dan keputusan politik didasarkan pada kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Dari itu konsensus nasional yang berakar pada Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi panduan utama dalam menjalankan pemerintahan. Dengan menjadikan nilai-nilai ini sebagai landasan, kita dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa kepemimpinan dijalankan dengan tujuan mulia: memperkuat persatuan bangsa.
Di sinilah pula harus senantiasa diingat dan direalisasikan bahwa Pancasila, sebagai ideologi negara, mengajarkan kita untuk selalu mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, sementara UUD 1945 memberikan kerangka hukum yang memastikan bahwa kekuasaan dijalankan dengan cara yang adil dan transparan.
Untuk mewujudkan kesatuan bangsa, para pemimpin harus mampu menyeimbangkan antara kekuasaan dan tanggung jawab moral. Ini berarti menolak godaan untuk menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan dan sebaliknya, mengedepankan integritas serta etika dalam setiap aspek kepemimpinan. Dalam situasi di mana politik sering kali dipenuhi oleh pragmatisme dan kepentingan jangka pendek, model kepemimpinan yang berorientasi pada nilai-nilai kebangsaan ini menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan kohesi sosial.
Prof. Dr. Drs. Ermaya Suradinata, S.H., M.H., M.S., adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005).