Indonesia di Panggung Timur Tengah: Geopolitik dalam Konfigurasi Baru LAWATAN

Presiden Prabowo Subianto ke Uni Emirat Arab (UEA) pada 9 April 2025, bukan sekadar kunjungan bilateral, melainkan sinyal kuat bahwa Indonesia bersiap memainkan peran lebih strategis dalam konfigurasi geopolitik global.

Dalam pertemuan dua jam dengan Presiden Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan (MBZ) di Istana Qasr Al Shatie, dibahas isu-isu mendesak mulai dari kebijakan tarif Amerika Serikat hingga konflik Gaza. Ini adalah bentuk diplomasi yang memadukan kepentingan nasional, perhatian kemanusiaan, dan ketegasan arah geopolitik.

Langkah Presiden Prabowo mengawali kunjungan luar negeri ke UEA mencerminkan pilihan geopolitik yang matang. UEA bukan hanya mitra ekonomi, tetapi juga pemain penting di kawasan Timur Tengah yang tengah mengalami transformasi strategis. Lantas Indonesia melihat kawasan ini sebagai episentrum baru dalam politik energi, keuangan syariah, dan isu-isu global Selatan.

Dari perspektif geopolitik kawasan, kehadiran Indonesia di Timur Tengah mengandung makna penting. Di tengah rivalitas kekuatan besar dan pergeseran tatanan dunia pasca-unilateralisme, negara-negara seperti UEA, Turkiye, dan Indonesia membentuk jaringan kekuatan menengah (middle powers) yang berusaha menjaga stabilitas kawasan.

Dengan pendekatan nonblok yang fleksibel, Indonesia di bawah Presiden Prabowo ingin menegaskan posisinya sebagai jembatan antara kepentingan global dan aspirasi kawasan –terutama dalam isu Palestina yang hingga kini menjadi luka geopolitik.

Bagi Indonesia, kunjungan ini merupakan bagian dari rekonstruksi orientasi geopolitik nasional. Tidak lagi sekadar berorientasi ke Barat atau Timur, tetapi pada kepentingan strategis lintas kawasan yang mampu mendongkrak daya tawar global. Dengan demikian, kunjungan ini menjadi simbol kebangkitan Indonesia dalam geopolitik global.

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, Indonesia berusaha menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan dinamika global, serta membangun arsitektur diplomasi yang mampu menjawab tantangan zaman.

Geopolitik yang kian terfragmentasi

Dari itu kunjungan Presiden Prabowo ke Timur Tengah, tidak dapat dilepaskan dari konteks global yang sedang mengalami fragmentasi geopolitik.

Ketika Amerika Serikat memberlakukan kebijakan tarif impor secara resiprokal terhadap ratusan negara, termasuk Indonesia, dunia menyaksikan gelombang baru proteksionisme yang menggerus semangat kerja sama multilateral.

Langkah proteksionis ini tidak hanya berdampak pada rantai pasok global dan perdagangan bebas, tetapi juga mempertegas arah unilateralisme yang mengancam stabilitas dan keadilan ekonomi internasional.

Dalam konteks ini, Indonesia dituntut untuk bersikap aktif dan strategis agar tidak terseret dalam pusaran tarik-menarik kepentingan kekuatan besar dunia.

Rivalitas antara Amerika Serikat dan China, telah melampaui ranah ideologi dan berubah menjadi kompetisi menyeluruh dalam bidang teknologi, militer, bahkan pangan. Ketegangan ini memiliki efek domino yang terasa di berbagai kawasan strategis, seperti Laut China Selatan, Ukraina, hingga Timur Tengah.

Krisis di Gaza menjadi simbol dari kegagalan sistem multilateral internasional dalam mencegah konflik dan memastikan perlindungan terhadap warga sipil.

Di tengah situasi seperti ini, kunjungan kenegaraan Prabowo ke Uni Emirat Arab dan Turkiye menjadi bagian penting dari strategi diplomasi Indonesia, sekaligus menegaskan komitmen terhadap perdamaian serta menjembatani dialog antarnegara yang tengah mengalami ketegangan.

Hal ini menandai diplomasi aktif Indonesia dalam membangun jaringan strategis baru. Pada saat yang sama, kerja sama ekonomi dan pertahanan yang terjalin melalui nota kesepahaman dengan UEA membuka jalan untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah ketidakpastian global.

Dalam konteks ini, kehadiran Presiden Prabowo di jantung Timur Tengah merupakan bagian dari diplomasi aktif Indonesia untuk membangun jejaring strategis baru.

Di saat bersamaan, kerja sama ekonomi dan pertahanan yang dijalin melalui nota kesepahaman dengan Uni Emirat Arab membuka jalan bagi penguatan posisi Indonesia di tengah ketidakpastian global.

Maka dari itu, langkah Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika global tetapi justru mengambil inisiatif untuk membentuk tatanan dunia yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Menata ulang arsitektur Indo-Pasifik

Dalam lanskap global yang semakin terfragmentasi, kawasan Indo-Pasifik menjelma menjadi episentrum baru bagi dinamika strategis dunia.

Kawasan ini bukan hanya pusat pertumbuhan ekonomi dan inovasi teknologi, tetapi juga menjadi ajang persaingan pengaruh antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China.

Kompleksitas tantangan yang dihadapi negara-negara di Indo-Pasifik mencakup persoalan kedaulatan, keamanan maritim, hingga keberlanjutan ekonomi. Di tengah tarikan kepentingan yang saling berlawanan, kebutuhan akan arsitektur regional yang mampu menjamin stabilitas jangka panjang menjadi semakin mendesak.

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar sekaligus poros maritim di Indo-Pasifik, memikul tanggung jawab strategis dalam menjaga agar kawasan ini tidak terseret ke dalam logika perang dingin baru.

Dengan posisi geografis dan diplomasi aktif yang dimilikinya, Indonesia memiliki modal penting untuk memainkan peran penengah. Pendekatan yang diambil oleh Presiden Prabowo dalam membangun relasi bilateral yang kuat, tapi tetap berpijak pada prinsip nonblok, memberikan ruang bagi lahirnya diplomasi jalan tengah.

Diplomasi personal semacam ini menjadi instrumen penting untuk meredakan ketegangan, sekaligus memperluas ruang kerja sama.

Dalam praktiknya, diplomasi jalan tengah menuntut lebih dari sekadar keseimbangan narasi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti bagaimana membangun ketahanan ekonomi nasional di tengah tekanan tarif global, atau bagaimana meredam potensi konflik regional agar tidak membesar menjadi konfrontasi global, harus dijawab melalui kebijakan yang bersifat lintas sektor dan berbasis risiko.

Peran aktif Indonesia dalam ASEAN dan kerja sama dengan mitra strategis seperti Jepang, India, Australia, serta negara-negara Teluk, harus dimaknai sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan regional.

Dengan demikian, Indo-Pasifik bukan semata-mata medan rivalitas, melainkan juga lahan subur bagi diplomasi inovatif dan kerja sama berkelanjutan.

Peran Indonesia, yang diperkuat oleh kepemimpinan Prabowo, berpotensi menjadi jangkar stabilitas dalam arus geopolitik yang tidak menentu.

Tantangan yang dihadapi tidak ringan, tetapi dengan strategi yang terukur dan visi jangka panjang, Indonesia dapat menjadi contoh bagaimana negara berkembang mampu menyumbang solusi di tengah rivalitas kekuatan besar.

Kepentingan geopolitik dalam respons ekonomi

Sementara itu dalam diskusi panel di forum The Yudhoyono Institute (13 April 2025), ekonom senior Dr. Chatib Basri menyampaikan pandangan strategis mengenai dampak kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap ekonomi Indonesia.

Ia menekankan bahwa risiko terhadap stabilitas pasar obligasi Indonesia relatif terbatas karena hanya sekitar 14 persen surat utang pemerintah dimiliki investor asing.

Dengan demikian, dampak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional diperkirakan sekitar 2,2 persen, mengingat porsi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tidak signifikan.

Namun, reformasi seperti penghapusan kuota impor dan pelonggaran kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi penting untuk menekan ongkos produksi dan menjaga stabilitas sektor riil.

Maka analisis ini perlu dibaca dalam konteks lebih luas, yakni arah kebijakan geopolitik Indonesia di bawah Presiden Prabowo.

Kunjungan-kunjungan luar negeri yang ia lakukan pascaterpilih bukan sekadar seremoni diplomatik, tetapi merupakan langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam sistem global yang sedang mengalami fragmentasi.

Di tengah rivalitas Amerika Serikat dan China, serta disrupsi rantai pasok global, Indonesia harus mampu memainkan diplomasi ekonomi yang aktif, memastikan bahwa tekanan tarif dan geopolitik justru menjadi momentum untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional.

Dalam hal ini, kunjungan Presiden Prabowo ke negara-negara mitra seperti China, Jepang, dan kawasan Timur Tengah mencerminkan upaya membangun aliansi ekonomi-politik yang lebih seimbang.

Pendekatan ini berpijak pada prinsip nonblok aktif—memastikan bahwa Indonesia tidak menjadi satelit kekuatan besar mana pun, tetapi tetap berdaulat dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya.

Konsolidasi kebijakan fiskal, perdagangan, dan diplomasi harus diarahkan pada penciptaan ruang strategis baru, termasuk diversifikasi mitra dagang dan pembukaan jalur investasi berbasis mutual interest.

Dengan mengintegrasikan kebijakan ekonomi dan arah geopolitik, Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto memiliki peluang untuk menjadikan tekanan global sebagai katalis reformasi domestik.

Kunjungan-kunjungan bilateral dan regional harus dibaca sebagai bagian dari grand strategy untuk memperkuat posisi tawar Indonesia, baik dalam ekonomi maupun keamanan.

Jadi, kunjungan Presiden terpilih Prabowo ke Uni Emirat Arab dan pertemuannya dengan Presiden Mohammed bin Zayed (MBZ), memiliki makna yang jauh melampaui sekadar protokol kenegaraan.

Dalam konteks global yang tengah mengalami disrupsi sistemik, diplomasi semacam ini merupakan bagian dari langkah strategis untuk menegaskan posisi Indonesia di tengah dinamika dunia yang semakin tidak menentu.

Dunia sedang bergeser ke arah multipolaritas yang disertai fragmentasi kepentingan. Indonesia tidak bisa berdiri pasif menghadapi perubahan tersebut.

Maka kebangkitan nasionalisme ekonomi di berbagai negara, telah mendorong proteksionisme yang semakin mengikis prinsip-prinsip perdagangan bebas.

Amerika Serikat dan China, dua kekuatan ekonomi utama dunia, kini saling berhadapan tidak hanya dalam isu tarif dan teknologi, tetapi juga dalam pengaruh ideologis dan militer.

Situasi ini turut berdampak pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang harus cermat membaca arah angin geopolitik dan ekonomi global.

Di sisi lain, sistem multilateral global—yang selama ini ditopang oleh institusi seperti PBB, WTO, dan Bretton Woods—mengalami krisis legitimasi akibat ketidakefektifannya dalam menangani konflik dan ketimpangan global.

Perang di Gaza, invasi Rusia ke Ukraina, dan ketegangan di Laut China Selatan, adalah beberapa contoh kegagalan sistem internasional dalam menjaga stabilitas dan keadilan.

Dalam situasi seperti ini, Indonesia harus mengambil peran sebagai penyeimbang kawasan (regional balancer), dengan tetap menjaga prinsip nonblok dan memprioritaskan kerja sama berbasis saling menghormati.

Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, pernah menjabat sebagai Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Kementerian Dalam Negeri (1998-2000). Saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).

id_IDIndonesian