Etika Tata Kelola Pemerintahan Dan Memperkokoh Ideologi Pancasila

Berita di Rakyat Merdeka (22/07/2025) bahwa Presiden Prabowo Subianto akan meminggirkan pejabat-pejabat yang dianggap lamban, malas, dan memiliki pemikiran tidak konstruktif. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Prabowo saat membuka acara Indonesian Petroleum Association (IPA) Convention and Exhibition (Convex) ke-49 di ICE BSD City, Tangerang, Banten, pada Rabu (21/5/2025). Di sinilah relevansi nation character building menjadi sangat penting, yaitu upaya membangun karakter kebangsaan yang -tangguh, berkepribadian, dan bermoral.
Dari situ pula bahwa prinsip-prinsip etika pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari ideologi Pancasila yang menjadi jiwa dan dasar negara. Bung Karno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, menegaskan bahwa penghayatan terhadap Pancasila harus diwujudkan secara nyata melalui ajaran Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ajaran ini disampaikan secara gamblang dalam pidatonya pada 20 Mei 1965 di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas RI), sebagai bagian dari strategi geopolitik Indonesia untuk menghadapi tantangan global.
Dalam pidato tersebut, Bung Karno menekankan bahwa geopolitik Indonesia harus dibangun di atas karakter bangsa yang kuat dan berakar pada kepribadian sendiri, bukan sekadar meniru pola kekuasaan negara lain. Oleh karena itu, etika tata kelola pemerintahan tidak boleh terlepas dari upaya membangun karakter bangsa secara menyeluruh. Nation character building menjadi langkah strategis dalam menjawab degradasi moral dan krisis integritas yang kerap mencederai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintahan yang beretika adalah pemerintahan yang mencerminkan karakter nasio¬nal: jujur, adil, gotong royong, berorientasi pada kesejahteraan rakyat, dan berkomitmen terhadap keutuhan NKRI. Dengan demikian, kebijakan publik bukan hanya soal efektivitas, tetapi juga tentang keadilan sosial dan keberpihakan pada rakyat kecil. Dengan begitu bersamaan pula Pancasila sebagai dasar ideologis dan moral bangsa harus dihidupkan dalam setiap aspek pemerintahan.
Maka untuk mengaktualisasikan etika dan Trisakti dalam tata kelola pemerintahan, reformasi struktural dan kultural menjadi keniscayaan. Secara struktural, sistem regulasi dan institusi pengawasan harus diperkuat. Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman RI, Komisi Etik, dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus berperan bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai penjaga moralitas pemerintahan. Reformasi birokrasi harus menekankan meritokrasi, integritas, dan pelayanan publik, bukan sekadar loyalitas politik.
Sementara itu, secara kultral, pendidikan karakter dan etika publik perlu ditanamkan sejak dini. Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan tidak cukup hanya mengajarkan hafalan sila-sila, tetapi harus mampu menumbuhkan kesadaran moral, nasionalisme, dan tanggung jawab sosial. Program pelatihan etika dalam birokrasi dan institusi politik juga harus berorientasi pada pembentukan karakter yang kuat, bukan sekadar penguasaan prosedur.
Dalam era globalisasi dan persaingan geopolitik yang makin tajam, bangsa Indonesia harus memperkuat fondasi ideologis dan etikanya. Tantangan global seperti disrupsi teknologi, perubahan iklim, dan ketegangan antarnegara dapat menggerus nilai-nilai lokal jika bangsa ini tidak memiliki kepribadian nasional yang kokoh. Di sinilah pentingnya Trisakti Bung Karno sebagai pedoman geopolitik nasional: Indonesia harus menjadi bangsa yang bermartabat, yang tidak kehilangan arah di tengah pusaran dunia yang kian tak pasti.
Dengan menjadikan etika sebagai jiwa tata kelola pemerintahan, serta Pancasila dan Trisakti sebagai fondasi ideologis dan geopolitik, Indonesia dapat menghadirkan model pemerintahan yang tidak hanya efektif secara teknokratis, tetapi juga unggul secara moral dan peradaban. Pemerintahan semacam ini tidak hanya menjawab kebutuhan teknis masyarakat, tetapi juga membangun kepercayaan publik, memperkuat solidaritas sosial, serta memperteguh identitas dan harga diri bangsa.
Etika tata kelola pemerintahan merupakan manifestasi konkret dari nilai-nilai dasar yang hidup dalam masyarakat. Ia bukan sekadar prosedur administratif atau aturan formal, melainkan cerminan dari komitmen moral para penyelenggara negara terhadap prinsip kea-dilan, kejujuran, dan tanggung jawab. Ketika etika melekat dalam praktik pemerintahan, kepercayaan publik tumbuh, stabilitas sosial terjaga, dan pelayanan kepada rakyat dapat dilaksanakan dengan integritas dan akuntabilitas yang tinggi.
Di sisi lain, nation character building atau pembangunan karakter bangsa menjadi landasan kultural yang menyokong praktik pemerintahan yang etis. Karakter bangsa yang kuat yang ditopang oleh nilai-nilai gotong royong, toleransi, semangat kebangsaan, dan rasa keadilan akan membentuk budaya politik dan birokrasi yang sehat. Dengan membangun watak bangsa yang berkepribadian dan bermoral, setiap kebijakan publik dan tindakan aparatur negara akan lebih mencerminkan kehendak rakyat dan nilai-nilai luhur Pancasila.
Ajaran Trisakti Bung Karno melengkapi fondasi tersebut dengan menawarkan arah strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Trisakti bukan hanya strategi geopolitik, tetapi juga panduan etik dan ideologis agar Indonesia mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung pada kekuatan asing. Ketika etika pemerintahan, karakter bangsa, dan Trisakti dijalankan secara terpadu, maka Indonesia akan memiliki fondasi yang kokoh untuk menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur, serta mampu berdiri tegak di panggung dunia sebagai bangsa besar yang bermoral dan berkepribadian dalam kebu-dayaan.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Dewan Pakar BPIP RI Bidang Geopolitik dan Geostrategi Manajemen Pemerintahan. Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).