Revitalisasi Birokrasi Dalam Pemerintahan Pusat Dan Daerah

Revitalisasi birokrasi merupakan agenda strategis dan krusial dalam membangun tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, dan berorientasi pada pelayanan publik yang berkualitas. Dalam konteks pemerintahan Indonesia, revitalisasi ini tidak sekadar menjadi bagian dari reformasi administrasi, tetapi juga menjadi pilar utama dalam mengimplementasikan visi pembangunan nasional.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui visi dan misi Asta Cita, telah menegaskan pentingnya birokrasi sebagai instrumen utama dalam mencapai delapan cita-cita pembangunan nasional. Oleh karena itu, revitalisasi birokrasi harus dilihat sebagai upaya transformatif yang terintegrasi dengan tujuan jangka panjang negara.
Dari delapan agenda ini, setidaknya tiga cita langsung menyentuh esensi revitalisasi birokrasi, yakni poin keempat, keenam, dan ketujuh. Antara lain, reformasi birokrasi merupakan inti dari Asta Cita keempat, yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi. Dalam konteks ini, revitalisasi birokrasi mencakup tiga dimensi utama: struktural, kultural, dan prosedural.
Reformasi struktural mengarah pada penyederhanaan organisasi pemerintahan, peram-pingan jabatan, serta distribusi kewenangan yang efisien antara pusat dan daerah. Hal ini selaras dengan semangat desentralisasi dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang menempatkan birokrasi daerah sebagai pelaksana utama pelayanan publik.
Reformasi kultural diarahkan pada transformasi nilai-nilai birokrasi, dari pola kerja yang cenderung statis, hierarkis, dan birokratis, menuju pola kerja yang lebih dinamis, kolaboratif, dan berorientasi hasil. Budaya kerja birokrasi harus berpindah dari sekadar kepatuhan administratif menuju pelayanan prima berbasis nilai-nilai integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas. Untuk itu, peran kepemimpinan birokrasi di semua level menjadi krusial, karena keberhasilan transformasi budaya sangat tergantung pada keteladanan.
Ada pun reformasi prosedural mendorong digitalisasi layanan publik, otomatisasi sistem -kerja, serta transparansi dalam pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan Asta Cita ketujuh yang menekankan pentingnya percepatan transformasi digital dalam pemerintahan. Pemerintah Prabowo-Gibran diharapkan mendorong pengembangan e-government yang terintegrasi dari pusat hingga ke daerah. Tujuannya adalah menghadirkan layanan publik yang cepat, murah, mudah diakses, dan minim penyalahgunaan wewenang.
Dengan begitu revitalisasi birokrasi berkaitan erat dengan Asta Cita keenam, yakni membangun desa dan memperkuat otonomi daerah. Dalam kerangka ini, birokrat daerah harus diposisikan sebagai garda depan dalam mendorong partisipasi masyarakat, mengelola potensi lokal, dan menjamin pelayanan dasar yang inklusif. Birokrasi daerah diharapkan jangan terjebak pada pola kerja administratif semata.
Oleh karenanya pemerintah pusat, harus memperkuat kapasitas perencanaan, penganggaran, dan monitoring di level daerah termasuk meningkatkan otonomi fiskal dan keleluasaan dalam mengelola keuangan daerah yang transparan dan akuntabel. Maka desentralisasi pemerintahan harus diiringi dengan desentralisasi kapasitas. Artinya, birokrasi daerah perlu diberikan ruang untuk berinovasi, membuat terobosan kebijakan lokal, dan tidak hanya menjadi pelaksana teknis program pusat.
Lantaran revitalisasi birokrasi juga berarti membangun sistem pembinaan karier dan rekrutmen ASN berbasis merit yang berkelanjutan di daerah. Pemerintah Prabowo-Gibran harus mendorong lahirnya pemimpin daerah yang memiliki kapasitas manajerial, integritas tinggi, dan komitmen terhadap pelayanan publik yang berkeadilan.
Revitalisasi birokrasi juga mendukung Asta Cita pertama dalam memperkuat pertahanan negara dan kemandirian bangsa. Di era kompetisi global dan ancaman non-tradisional seperti siber, terorisme, dan krisis iklim, birokrasi tidak lagi hanya bertugas sebagai pelaksana teknis administratif, tetapi juga harus menjadi aktor strategis yang mampu mengelola risiko dan ketahanan nasional secara adaptif. Birokrasi yang kuat dan tangguh merupakan bagian dari kekuatan nasional (national power) yang berfungsi mendukung diplomasi, pertahanan, serta pembangunan berkelanjutan.
Dengan begitu revitalisasi birokrasi harus ditopang oleh sistem merit yang konsisten dan bebas dari intervensi politik. Penerapan manajemen ASN berbasis kinerja, evaluasi berbasis hasil (outcome), dan penghargaan berbasis kontribusi menjadi instrumen penting dalam mempercepat reformasi birokrasi. Lebih lanjut, penguatan lembaga pengawasan internal seperti Inspektorat Jenderal dan BPKP, serta peran KPK dalam pembinaan integritas ASN menjadi aspek kunci dalam menutup celah korupsi struktural dalam birokrasi.
Kendati begitu masih ada tantangan terbesar dalam revitalisasi birokrasi, yakni resistensi internal, lemahnya kepemimpinan transformatif, serta fragmentasi kebijakan antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, sinergi antarlembaga dan konsistensi arah kebijakan menjadi syarat mutlak. Pemerintah pusat harus memberikan arahan yang jelas namun memberi ruang inovasi, sedangkan daerah harus mampu menerjemahkan kebijakan pusat sesuai dengan konteks lokal.
Dalam hal ini, peran Kementerian PAN-RB, BKN, LAN, serta Kemendagri menjadi sangat strategis dalam mengorkestrasi gerakan reformasi birokrasi secara nasional. Maka revitalisasi birokrasi bukan sekadar proyek reformasi administrasi, tetapi merupakan fondasi utama bagi terwujudnya tata kelola peme¬rintahan yang responsif, inklusif, dan berdaya saing tinggi.
Dalam konteks visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, revitalisasi birokrasi menjadi instrumen strategis untuk mendorong efektivitas kebijakan, memperkuat pelayanan publik, dan memastikan seluruh elemen pemerintahan bekerja dalam harmoni demi kemajuan bangsa. Untuk itu, revitalisasi birokrasi harus dilakukan secara sistemik, berkesinambungan, dan didukung oleh kepemimpinan yang kuat serta komitmen politik yang tinggi demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Dewan Pakar BPIP RI Bidang Geopolitik dan Geostrategi Manajemen Pemerintahan. Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).