Retret Kepala Daerah: Energi Baru Menuju Pemerintahan Yang Efektif

Ada satu momen penting yang patut mendapat perhatian publik akhir Juni lalu. Sebanyak 86 kepala daerah dari seluruh penjuru Indonesia, berkumpul selama lima hari dalam forum retret gelombang kedua yang digagas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, dan ditutup pada Kamis, 26 Juni 2025. Bukan sekadar temu rutin atau pelatihan biasa, forum ini justru memperlihatkan semangat baru dalam mengelola pemerintahan: lebih terbuka, lebih partisipatif, dan lebih berorientasi pada pelayanan publik yang nyata.
Maka retret ini juga memberi harapan akan model pemerintahan yang lebih dialogis. Selama ini, sering kali kita menyaksikan kepala daerah seolah hanya pelaksana teknis dari instruksi pusat. Padahal, daerah menyimpan banyak potensi, pengalaman, dan bahkan inovasi yang bisa menjadi inspirasi nasional. Ketika para kepala daerah diberi ruang untuk menyampaikan suara dan strategi mereka, kebijakan nasional pun menjadi lebih relevan dan kontekstual.
Ada pergeseran dari model “top-down” menjadi “bottom-up,” atau paling tidak, sebuah model yang setara dan saling menghormati. Dari itu retret ini bukan hanya mempertemukan kepala daerah dengan pusat, tapi juga dengan sesama mereka. Ini menciptakan jejaring lintas wilayah yang penting, bukan sekadar untuk silaturahmi, melainkan sebagai wahana pertukaran solusi konkret.
Kita tahu bahwa banyak tantangan pemerintahan di daerah punya pola yang mirip: birokrasi yang lambat, anggaran yang terbatas, tekanan politik lokal, hingga masalah pelayanan publik yang belum maksimal. Dengan bertemu dan berdialog, para pemimpin ini bisa saling belajar tanpa harus menunggu perubahan dari pusat. Maka dalam jangka panjang, jaringan komunikasi antardaerah ini bisa menjadi kekuatan tersendiri dalam mendorong agenda reformasi yang lebih menyeluruh.
Apalagi, tantangan pembangunan ke depan tidak semakin ringan. Krisis iklim, ketimpangan wilayah, tekanan fiskal, disinformasi digital, serta meningkatnya harapan masyarakat terhadap pelayanan publik, semua menuntut pendekatan yang kolaboratif dan cepat. Pemerintah pusat tidak bisa menjawabnya sendirian. Peran kepala daerah bukan lagi sekadar memperpanjang tangan pusat, melainkan sebagai pemimpin lokal yang mampu menyusun solusi berbasis konteks wilayah masing-masing, dengan tetap menjaga garis kebijakan nasional.
Maka retret ini bukan jawaban akhir. Ia hanya langkah awal. Tantangan sesungguhnya justru terletak pada tindak lanjutnya. Apakah semangat yang dibangun di Jatinangor akan dilanjutkan dalam mekanisme evaluasi bersama? Apakah akan ada forum berkala untuk mendengar suara kepala daerah secara sistematis? Dan yang paling penting, apakah kebijakan pusat akan benar-benar terbuka untuk dikritisi dan dikoreksi jika memang tidak sesuai dengan realitas daerah?
Retret hanya akan bermakna jika menjadi bagian dari ekosistem kebijakan yang berkesinambungan. Perlu ada sistem dokumentasi, mekanisme pelaporan pasca retret, dan integrasi langsung ke dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun evaluasi capaian kinerja kepala daerah. Jika tidak, maka momen penting ini bisa kembali menguap seperti banyak forum sebelumnya.
Pemerintahan yang efektif tidak bisa dibangun hanya dengan dokumen dan instruksi. Ia lahir dari kemauan untuk mendengar dan berkolaborasi. Dari keberanian untuk mengakui bahwa tidak semua kebijakan pusat pasti benar, dan tidak semua daerah harus diseragamkan. Masyarakat tidak butuh pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang mau belajar, berubah, dan bekerja bersama. Retret kepala daerah adalah gambaran awal dari harapan itu.
Untuk itu, publik juga punya peran penting: mengawal proses ini agar tidak berhenti di forum tertutup. Kita sebagai warga negara harus memastikan bahwa semangat retret ini benar-benar berdampak pada pelayanan publik yang lebih baik lebih cepat, lebih murah, dan lebih manusiawi. Pemerintah yang efektif bukan hanya terlihat dari pidato dan laporan capaian, tetapi dari bagaimana rakyat merasa terbantu dalam hidup sehari-hari.
Apakah ke depan retret seperti ini perlu terus dilakukan? Jawabannya tentu iya. Bahkan perlu dikembangkan menjadi forum nasional yang reguler, dengan keterlibatan tidak hanya kepala daerah, tetapi juga wakil rakyat, tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan warga. Di era demokrasi yang sehat, dialog seperti ini bukan fasilitas mewah, tetapi kebutuhan mutlak. Karena dari dialoglah lahir kebijakan yang bijak.
Dalam bahasa yang sederhana: retret ini adalah langkah menuju pemerintahan yang lebih waras. Yang tidak hanya berpikir dari belakang meja, tetapi mendengar langsung dari para pelaku di lapangan. Yang tidak hanya mengatur dari pusat, tetapi juga memahami denyut nadi di daerah. Inilah bentuk baru dari pelayanan publik yang tidak arogan, tetapi rendah hati dan kolaboratif.
Semoga semangat dari Jatinangor tak padam. Karena Indonesia membutuhkan lebih banyak ruang seperti ini di mana para pemimpinnya bisa duduk bersama, berbicara jujur, saling menguatkan, dan akhirnya bergerak serentak untuk satu tujuan: mewujudkan pemerintahan yang melayani rakyat, bukan sebaliknya.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Dewan Pakar BPIP RI Bidang Geopolitik dan Geostrategi Manajemen Pemerintahan. Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).