Mari Kita Kembali Bersama (Bagian I): Bersatu Di Dalam Rumah Pancasila

Aksi demonstrasi yang ¬beberapa waktu lalu terjadi di berbagai wilayah Indonesia, memperlihatkan wajah ganda dari demokrasi kita.
Di satu sisi, demonstrasi adalah tanda vitalitas politik rakyat, ruang ¬artikulasi aspirasi yang sah dalam negara demokratis.
Ia menegaskan bahwa suara rakyat masih hidup, masih ingin didengar, dan masih mampu bergerak dalam kesadaran kolektif.
Namun, di sisi lain, kericuhan yang menyertainya, perusakan fasilitas publik, serta kerugian material yang ditimbulkannya memperlihatkan rapuhnya kedewasaan politik dalam mengelola perbedaan.
Padahal demokrasi yang sejatinya harus menjadi arena musyawarah justru berubah menjadi gelanggang benturan yang merugikan rakyat sendiri.
Di titik inilah seruan, “Mari kita kembali bersama bersatu di dalam Rumah Pancasila” menemukan makna terdalamnya - bukan sekadar retorika moral, melainkan jalan pulang yang filosofis, jalan pulang menuju persatuan yang semakin mendesak untuk dirawat.
Demonstrasi pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang harus dicurigai atau ditakuti. Ia adalah bagian sah dari partisipasi politik warga, sesuatu yang diakui oleh demokrasi sebagai bentuk kontrol sosial terhadap jalannya kekuasaan.
Kendati demikian, sebagaimana api yang memberi kehangatan sekaligus bisa membakar, demonstrasi pun memiliki dua wajah.
Bila ia berjalan damai, ia memperkuat sistem politik dengan memberi ruang koreksi.
Tetapi bila ia berubah menjadi anarki, nilai luhur itu pun pudar, berganti luka yang menyakitkan.
Fasilitas publik yang dirusak bukan sekadar tembok dan besi yang terbakar, melainkan juga lambang dari rusaknya kesadaran kolektif tentang kepemilikan bersama.
Sebab, halte, jalan, gedung pelayanan, dan berbagai sarana umum bukanlah milik negara dalam pengertian birokrasi semata, tetapi milik rakyat, milik kita semua yang setiap hari menggunakannya.
Maka setiap kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi yang rusuh pada akhirnya menambah beban sosial, memaksa negara mengalihkan anggaran pembangunan untuk menambal luka, dan melahirkan lingkaran ketidakpuasan yang berulang.
Di sinilah Pancasila hadir bukan hanya sebagai dasar normatif, melainkan sebagai rumah kebangsaan.
Dan dari kelima sila, Persatuan Indonesia menjadi pilar yang paling mendesak untuk ditegakkan.
Persatuan bukanlah sekadar kata indah yang diucapkan dalam upacara, melainkan syarat mutlak bagi kelangsungan bangsa yang lahir dari rahim keberagaman.
Dari itu Persatuan Indonesia menuntut kesadaran mendalam bahwa keragaman adalah takdir sejarah.
Ia bukan pilihan yang bisa dinegosiasikan, melainkan kenyataan yang harus dikelola dengan bijak.
Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, bangsa ini berdiri di atas fondasi kebhinnekaan yang luas: ratusan etnis, bahasa daerah, keyakinan, dan budaya.
Jika keberagaman ini tidak dipayungi semangat persatuan, Indonesia hanya akan menjadi panggung konflik yang tak berkesudahan.
Tetapi bila perbedaan itu dirajut dalam satu ikatan, bangsa ini akan tampil sebagai contoh yang memukau dunia: bagaimana sebuah negara besar bisa menjaga harmoni di tengah pluralitas yang ekstrem.
Di sinilah persatuan bukan sesuatu yang abstrak.
Ia harus nyata dalam kehidupan sehari-hari, dalam kebijakan publik yang inklusif, dalam ruang politik yang memberi tempat bagi aspirasi rakyat tanpa harus ditempuh melalui kekerasan.
Ia harus hidup dalam pendidikan yang menanamkan gotong royong dan solidaritas sejak dini.
Persatuan tidak berarti menutup pintu kritik, tetapi ¬justru memastikan bahwa kritik di-sampaikan dalam bingkai kebangsaan, dengan cara yang membangun.
Persatuan tidak berarti meniadakan perbedaan pandangan, tetapi memberi tempat agar perbedaan itu bisa menjadi bahan musyawarah untuk keputusan yang lebih bijaksana.
Maka seruan “Mari kita kembali bersama bersatu di dalam Rumah Pancasila" sesungguhnya adalah seruan untuk kembali menegakkan Persatuan Indonesia sebagai nilai hidup.
Kita boleh-boleh saja berbeda pilihan politik, bahkan berbeda cara memandang masa depan.
Tetapi di atas semua itu, kita tetap satu bangsa yang terikat oleh sejarah dan cita-cita yang sama.
Masa depan gemilang bangsa ini hanya dapat diraih bila persatuan dijadikan poros utama.
Negara tidak akan pernah mampu melangkah jauh bila energinya terkuras untuk memperbaiki kerusuhan yang ditimbulkan anak kandung demokrasi yang belum matang.
Di sinilah Pancasila menunjukkan wajah filosofisnya yang mendalam.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, bukan sekadar ajakan untuk tidak bertikai, melainkan pula sebuah visi ontologis: bahwa keberadaan bangsa ini hanya bermakna bila kita menempatkan diri sebagai bagian dari keseluruhan.
Pancasila mengajarkan bahwa kebebasan tanpa persatuan hanya melahirkan kekacauan, tetapi persatuan yang dirajut dalam kebebasan akan menjadi dasar kokoh bagi lahirnya peradaban besar.
Inilah kearifan yang membedakan Pancasila dari sekadar kontrak politik; ia adalah filsafat hidup yang menuntun bangsa untuk melampaui kepentingan diri.
Sehingga persatuan dalam bingkai Pancasila bukanlah pemaksaan homogenitas, melainkan pengakuan atas pluralitas yang dikelola secara arif.
Falsafah ini menegaskan bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan ruang belajar bersama yang memperkaya jiwa bangsa.
Ketika elite lebih sibuk mengejar kepentingan sempit, ketika warga mudah terjebak dalam polarisasi, maka seruan luhur Pancasila seakan kehilangan gema.
Persatuan tidak cukup menjadi semboyan; ia harus diwujudkan dalam keputusan, kebijakan, dan sikap hidup yang memuliakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.
Tanpa itu, Indonesia akan terperangkap dalam lingkaran konflik yang melelahkan dan merugikan.
Oleh karena itu, panggilan sejarah hari ini jelas: kita harus kembali ke Rumah Pancasila, tempat setiap anak bangsa merasa aman, setara, dan dihargai.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Dewan Pakar BPIP RI Bidang Geopolitik dan Geostrategi Manajemen Pemerintahan. Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).