Mari Kita Kembali Bersama (Bagian II-Habis): RUU PIP, Jalan Pulang Ke Rumah Pancasila

MARI kita kembali bersama: bersatu di dalam Rumah Pancasila.
Seruan ini adalah panggilan sejarah, panggilan nurani bangsa, yang semakin terasa mendesak di tengah keadaan politik, sosial, dan budaya kita hari ini.
Di mana polarisasi membuahkan luka, memisahkan saudara dengan saudara, sahabat dengan sahabat, seolah-olah perbedaan pandangan politik adalah alasan untuk menghapus rasa kebersamaan.
Dalam situasi yang menggunc ang seperti kejadian beberapa hari lalu, maka gema luhur Panca sila harus senantiasa digemakan terus.
Lantaran Panca sila bukan sekadar lima sila yang tertera dalam teks Pembukaan UUD 1945.
Ia adalah jiwa, ia adalah napas yang menghidupkan kehidupan berbangsa.
Dan sama seperti jiwa, ia dapat layu jika dibiarkan tanpa perawatan, jika hanya dijadikan slogan tanpa diwujudkan dalam tindakan konkret.
Persatuan tidak cukup diucapkan dalam pidato seremonial; ia harus ditanamkan dalam kebijakan publik yang adil, dalam keputusan politik yang memuliakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, dan dalam sikap hidup sehari-hari yang menolak segala bentuk diskriminasi.
Mari kita pahami Rumah Pancasila bukan sebagai bangunan abstrak, melainkan sebagai ruang nyata yang menuntut kesetiaan semua pihak.
Bila elite meninggalkan rumah itu, bila rakyat tidak lagi percaya pada fondasinya, maka rumah kebangsaan ini akan retak dan hancur.
Di tengah situasi inilah, gagasan Bung Karno tentang Trisakti menemukan kembali relevansinya.
Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalamkebudayaan adalah tiga pilar yang menopang Rumah Pancasila.
Kedaulatan politik mengingatkan kita untuk tidak membiarkan bangsa ini menjadi sandera kekuatan asing maupun segelintir oligarki dalam negeri.
Berdikari dalam ekonomi menegaskan bahwa kemerdekaan sejati hanya bermakna bila rakyat dapat hidup sejahtera tanpa ketergantungan pada struktur global yang timpang.
Berkepribadian dalam kebudayaan mengajarkan kita untuk tidak kehilangan jati diri di tengah derasnya arus globalisasi.
Ketiganya adalah jalan konkret untuk kembali meneguhkan Pancasila sebagai rumah bersama, rumah yang memberi arah dan pegangan dalam badai zaman.
Maka untuk menjaga agar rumah ini tetap kokoh, kita tidak cukup hanya bersandar pada seruan moral.
Kita membutuhkan instrumen hukum dan kebijakan yang mengikat, yang menjadi jembatan antara nilai ideal dan praktik nyata.
Di sinilah letak mendesaknya Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP) untuk segera diberlakukan sebagai Undang-Undang.
RUU PIP ini bukanlah sekadar produk legislatif biasa, melainkan kebutuhan mendesak agar nilai Pancasila tidak hanya hidup dalam retorika, melainkan berakar dalam kesadaran kolektif bangsa.
Tanpa landasan hukum yang kuat, pembinaan ideologi akan bersifat sporadis, sektoral, dan rentan tereduksi oleh kepentingan sesaat.
RUU PIP menekankan bahwa pembinaan ideologi bukanlah tugas segelintir lembaga, melainkan tugas bersama seluruh elemen bangsa: lembaga negara, pemerintahan daerah, partai politik, organisasi masyarakat, dunia usaha, hingga komunitas akar rumput.
Penanaman, internalisasi, pelembagaan, dan pembudayaan nilai Pancasila harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Bayangkan sebuah bangsa yang setiap lembaganya, setiap kebijakan publiknya, setiap ruang sosialnya bernafas dengan nilai Pancasila—disitulah letak makna Rumah Pancasila yang sebenarnya.
RUU PIP adalah fondasi hukum yang mengikat kita untuk membangun rumah itu secara kolektif, bukan parsial.
Kita memang harus berhati-hati agar pembinaan ideologi tidak jatuh pada indoktrinasi kaku seperti masa lalu.
Pembinaan ideologi harus dijalankansecara dialogis, partisipatif, dan kontekstual.
Tetapi kehati-hatian itu tidak boleh menjelma menjadi kelambanan.
Kita tidak boleh menunda lagi, sebab tanpa kerangka hukum yang kokoh, Pancasila hanya akan menjadi jargon politik yang kian kehilangan daya rekatnya.
Lebih-lebih di era digital, ketika ruang publik dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, dan narasi yang memecah belah,
Pancasila membutuhkan rumah hukum yang melindunginya, agar ia tetap hidup sebagai Bintang penuntun bangsa.
MARI kita kembali bersama: bersatu di dalam Rumah Pancasila.
Inilah saatnya kita memahami bahwa rumah itu bukan hanya simbol, melainkan juga kontrak sosial dan hukum.
Kita harus berani menegakkan RUU Pembinaan Ideologi Pancasila menjadi Undang-Undang sebagai bukti komitmen bahwa bangsa ini tidak lagi ingin hidup tercerai-berai oleh kepentingan sempit.
Undang-undang itu akan menjadi tiang penyangga agar Pancasila tidak lagi hanya diceramahkan, melainkan diwujudkan dalam realitas hidup.
Ia akan menjadi cermin yang memaksa elite untuk menundukkan egonya, dan menjadi pelita yang membimbing rakyat agar tidak terjebak dalam gelapnya polarisasi.
Kita harus menyadari bahwa tanpa rumah itu, kita hanyalah penghuni tanah yang rapuh, mudah diombang-ambingkan oleh badai kepentingan.
Tetapi dengan rumah itu, kita memiliki tempat berlindung, tempat kembali, tempat di mana segala perbedaan bisa dipersatukan dalam cita-cita yang sama: Indonesia yang adil, berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.
Maka panggilan sejarah hari ini jelas: mari kita Kembali bersama, mari kita bersatu di dalam Rumah Pancasila.
Dan agar rumah itu kokoh, RUU Pembinaan Ideologi Pancasila harus segera menjadi Undang-Undang.
Tidak ada waktu untuk menunda, sebab menunda berarti membiarkan rumah ini terus retak, dan membiarkan bangsa ini berjalan tanpa arah di Tengah arus global yang kian deras.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Dewan Pakar BPIP RI Bidang Geopolitik dan Geostrategi Manajemen Pemerintahan. Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).