Strategi Modernisasi: Tata Kelola Manajemen Pemerintahan, Kemendagri & Pemerintahan Daerah

MODERNISASI Tata Kelola manajemen pemerintahan dalam negeri, tidak lagi dapat dipahami semata-mata sebagai agenda teknokratis yang bersandar pada regulasi formal dan kebijakan administratif.
Melainkan pula ia harus dipandang sebagai sebuah proses historis yang bergerak seiring dinamika masyarakat, perubahan sosial, serta transformasi relasi negara dengan warganya yang dapat menimbulkan gejolak sosial.
Dalam konteks ini, salah satu ranah yang menjadi ujian nyata adalah penyelenggaraan ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan Masyarakat(Trantibum Linmas).).
Ranah tersebut kerap diperlakukan sebagai urusan teknis yang hanya muncul ke permukaan ketika terjadi gangguan sosial atau konflik terbuka padahal dalam kerangka konstitusional Indonesia, ia merupakan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
Posisi ini menegaskan bahwa (Trantibum Linmas). tidak dapat dipandang sekadar sebagai bagian dari rutinitas birokrasi, melainkan sebagai fondasi eksistensial Kementerian Dalam Negeri dari tegaknya tata kehidupan masyarakat dan negara.
Demikian juga Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas menetapkan bahwa (Trantibum Linmas). merupakan urusan wajib yang melekat pada pemerintah daerah.
Artinya, setiap kepala daerah tidak bisa mengabaikan tugas menjaga ketertiban dan melindungi masyarakat, karena hal itu adalah perwujudan paling nyata dari pelayanan publik yang bersifat mendasar.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 kemudian mempertegas peran Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat daerah yang memiliki tiga mandat pokok.
Unit (Satpol PP) sebagai lembaga daerah dengan tiga tugas pokok: Menegakkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah, Menjaga ketertiban umum, Memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Oleh karenanya mandat ini, bila ditilik secara filosofis, mengandung makna bahwa pemerintah daerah tidak hanya diberi kewenangan administratif, tetapi juga tanggung jawab moral untuk menciptakan ruang sosial yang tertib, aman, dan melindungi hak hidup warganya.
Di titik inilah, hukum positif bertemu dengan etika politik: penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak hanya berhenti pada tata aturan, tetapi juga menjangkau ranah pengabdian kemanusiaan.
Dalam waktu yang sama, reformasi kepolisian yang mendorong Polri untuk lebih fokus pada penegakan hukum pidana, kriminalitas transnasional, serta keamanan nasional, turut memberi warna baru dalam konstelasi kelembagaan negara.
Dengan pembagian tugas ini, tampak jelas bahwa negara sedang membangun model manajemen keamanan yang lebih sistematis: Polri bergerak di ranah hukum pidana dan keamanan strategis, sementara Satpol PP berperan di tingkat lokal, memastikan kehidupan sehari-hari Masyarakat berlangsung dalam ketertiban dan ketenteraman.
Namun pembagian ini tidaklah sederhana. Ia memerlukan sinergi, sebab dalam realitas lapangan, persoalan ketertiban umum sering kali berkelin dan dengan tindak pidana.
Sebuah demonstrasi yang awalnya hanya pelanggaran ketertiban bisa berubah menjadi tindak kriminal; sebuah sengketa lahan yang berakar pada pelanggaran administrasi bisa menjelma menjadi konflik horizontal yang mengancam keamanan nasional.
Di sinilah koordinasi antara Satpol PP dan Polri bukan sekadar pelengkap, melainkan syarat mutlak bagi berjalannya fungsi negara.
Jika kita menilik lebih dalam, tantangan terbesar modernisasi manajemen pemerintahan dalam negeri pada urusan ini terletak pada fragmentasi kewenangan, keterbatasan kapasitas, dan lemahnya mekanisme koordinasi.
Satpol PP berada di bawah kendali kepala daerah, sementara Polri tunduk langsung kepada Presiden melalui Kapolri.
Perbedaan garis komando ini kerap menimbulkan ketidaksinkronan dalam operasi lapangan.
Dalam kerangka modernisasi, maka diperlukan strategi yang bersifat sistemik.
Modernisasi bukan sekadar memperbarui peralatan atau memperketat aturan, melainkan membangun paradigma baru dalam memandang urusan (Trantibum Linmas)..
Pertama-tama, yang perlu diperkuat adalah kapasitas Satpol PP dan Linmas. Satpol PP dan Linmas.
Mereka tidak bisa lagi diperlakukan sebagai sekadar apparat penertiban jalanan, melainkan harus ditempatkan sebagai profesional yang memiliki keahlian manajemen konflik, kemampuan komunikasi sosial, hingga pemahaman hukum yang mumpuni.
Pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi harus diperluas, bukan hanya dalam hal teknis lapangan, tetapi juga dalam hal penguasaan teknologi informasi, pendekatan persuasif, dan pengelolaan krisis.
Profesionalisasi Satpol PP adalah langkah filosofis sekaligus pragmatis: tanpa itu, mustahil membangun pemerintahan daerah yang modern.
Modernisasi tidak bisa dilepaskan dari digitalisasi.
Di era revolusi industri 4.0 dan masyarakat informasi, urusan ketertiban dan perlindungan masyarakat pun harus ditopang oleh teknologi.
Sistem informasi (Trantibum Linmas). yang memungkinkan deteksi dini potensi gangguan harus dibangun di setiap daerah.
Data dari Satpol PP perlu diintegrasikan dengan Polri, BPBD, dan instansi terkait melalui pusat komando yang mampu merespons cepat setiap gejala gangguan.
Aplikasi berbasis daring yang memudahkan Masyarakat melaporkan pelanggaran Perda atau potensi konflik juga menjadi bagian dari inovasi yang harus digarap serius.
Dengan cara ini, masyarakat tidak hanya menjadi objek perlindungan, melainkan juga subjek yang berpartisipasi aktif menjaga ketertiban.
Modernisasi, dalam perspektif ini, berarti memperluas ruang partisipasi warga sekaligus mempercepat respons pemerintah.
Kendati demikian teknologi dan kapasitas tidak akan banyak berarti tanpa koordinasi yang kokoh.
Sinergi antara Satpol PP dan Polri harus melampaui batas-batas struktural kelembagaan.
Dibutuhkan forum koordinasi yang bersifat permanen, difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk menyatukan visi antara pusat, daerah, dan kepolisian.
Operasi gabungan di lapangan harus dilakukan secara rutin, terutama menghadapi isu-isu yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang lebih luas.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Dewan Pakar BPIP RI Bidang Geopolitik dan Geostrategi Manajemen Pemerintahan. Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).