Mencegah Gejolak Sosial Lewat Kebijakan Pajak Yang Adil

Masyarakat belakangan ini bereaksi keras terhadap kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di beberapa daerah, maka protes ini karuan saja berpotensi menimbulkan gejolak sosial.
Dalam konteks deteksi dini ancaman, kita harus waspada bahwa kebijakan pajak yang memberatkan bisa menimbulkan gejolak.
Upaya untuk meningkatkanPendapatan Asli Daerahjangan sampai justru menciptakan ancaman baru bagi stabilitas.
Fenomena ini menjadi pengingat betapa pajak, yang dalam teori keuangan publik dipandang sebagai tulang punggung kehidupan bernegara, sesungguhnya adalah per-soalan yang melibatkan sensitivitas masyarakat, rasa keadilan, serta legitimasi negara di mata warganya.
Sehingga pajak bukan hanya angka yang tertulis dalam peraturan, melainkan sebuah kontrak sosial yang mengikat antara negara dan rakyatnya, yang jika dirasa timpang, dapat melahirkan ketidakpuasan dan bahkan potensi disintegrasi sosial.
Jika dianggap tidak adil, hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan bahkan berpotensi menyebabkan disintegrasi sosial.
Pajak, dalam konteks ini, merupakan manifestasi konkret dari kontrak sosial: rakyat rela menyerahkan sebagian kekayaannya kepada negara dengan keyakinan bahwa negara akan menggunakannya demi kepentingan umum, termasuk pembangunan dan kesejahteraan bersama.
Namun kontrak ini rapuh jika salah satu pihak mengingkarinya.
Ketika rakyat merasa terbebani secara berlebihan, atau merasa hasil pungutan tidak kembali dalam bentuk manfaat nyata, kontrak sosial itu retak.
Retakan kecil bisa membesar menjadi jurang yang memisahkan negara dari rakyatnya. Tiliklah pada sejarah Amerika Serikat, di mana pajak menjadi pemicu gejolak.
Revolusi Amerika pada abad ke-18, misalnya, lahir dari semboyan “No taxation without representation” yang artinya “tidak ada pajak tanpa perwakilan,” yang juga hal ini menunjukkan betapa pajak yang tidak adil dapat menjadi percikan api revolusi.
Begitu pula Pemberontakan Petani di Eropa abad pertengahan, yang dipicu oleh beban pajak feodal yang mencekik rakyat kecil.
Di Indonesia sendiri, ketegangan pajak bukanlah hal baru.
Pada masa kolonial, pajak tanah yang memberatkan rakyat desa menimbulkan keresahan panjang.
Karena itu, wajar bila masyarakat hari ini sensitif terhadap kebijakan seperti kenaikan PBB-P2.
Ia bukan sekadar angka dalam tabel APBD, melainkan simbol relasi kuasa yang dapat memunculkan ketegangan bila dianggap tidak adil.
Kendati begitu rakyat juga tahu bahwa pajak adalah darah kehidupan negara.
Tanpa pajak, mustahil membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan layanan publik lainnya.
Maka pajak menjadi instrumen distribusi keadilan sosial, tempat negara mengambil dari yang mampu untuk membiayai kepentingan bersama.
Inilah paradoks pajak: ia adalah beban sekaligus harapan, pengorbanan sekaligus investasi.
Dari itu Negara dituntut bijaksana agar keseimbangan antara beban dan manfaat terjaga.
Ketika keseimbangan itu hilang, pajak berubah dari alat solidaritas menjadi alat penindasan.
Bersamaan pula dari sini keadilan fiskal harus menjadi roh setiap kebijakan pajak.
Kenaikan PBB-P2, misalnya, hanya dapat diterima masyarakat jika transparansi dan akuntabilitas terjamin, serta manfaatnya jelas dirasakan kembali dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik.
Tanpa itu, pajak hanya akan dianggap sebagai penarikan paksa, bukan kontribusi sukarela.
Filsuf kontemporer seperti John Rawls menekankan prinsip keadilan sebagai fairness (keadilan).
Dalam konteks pajak, fairness berarti bahwa beban harus ditanggung secara proporsional sesuai kemampuan, dan hasilnya digunakan untuk memperbaiki posisi kelompok yang paling rentan.
Jika kebijakan justru memberatkan masyarakat kecil sementara manfaatnya tidak terlihat, maka prinsip fairness dilanggar, dan resistensi sosial tak terhindarkan.
Dari perspektif ketahanan nasional, kebijakan pajak yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial juga dapat dibaca sebagai potensi ancaman.
Dalam kajian keamanan non-tradisional, ancaman tidak hanya datang dari luar berupa serangan militer, tetapi juga dari dalam berupa ketidakpuasan sosial yang bisa merusak kohesi bangsa.
Kenaikan pajak yang membebani rakyat kecil, adalah bentuk ¬ancaman lunak yang jika tidak dikelola, dapat menggerogoti stabilitas politik.
Protes keras masyarakat yang terjadi belakang ini, harus dibaca bukanlah sekadar gangguan sesaat, melainkan alarm dini yang memperingatkan adanya jurang kepercayaan antara rakyat dan pemerintah.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal perlu diperlakukan dengan sensitivitas politik, bukan hanya kalkulasi ekonomi.
Sehingga pajak dalam konteks pembangunan bukan hanya soal pendapatan, melainkan juga pendidikan politik.
Ketika rakyat melihat bahwa pajaknya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, jembatan, dan layanan publik lain, kesadaran kolektif tumbuh bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa yang saling menopang.
Tetapi ketika pajak justru dipersepsikan sebagai sumber rente, korupsi, atau proyek-proyek yang tidak menyentuh kebutuhan dasar, maka pajak kehilangan legitimasi moralnya.
Dengan kata lain, pajak bisa menjadi simbol kebersamaan atau sebaliknya simbol keterasingan, tergantung bagaimana negara mengelolanya.
Dari itu untuk kenaikan pajak harus ada sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat sebagai bagian mencegah miskomunikasi yang bisa memicu ketegangan.
Selanjutnya klasifikasi kemampuan masyarakat dalam penetapan tarif sebagai upaya menjaga keadilan sosial dan stabilitas daerah.
Juga harus ada hukum yang tegas dan adil terhadap penyelenggara pajak, pengemplang pajak, maupun terhadap pejabat yang melakukan korupsi pajak.
Dengan demikian, beban menjadi adil dan hasil pajak tampak nyata manfaatnya.
Hanya dengan jalan inilah, pajak kembali dipandang sebagai instrumen solidaritas bangsa, bukan sekadar kewajiban yang menekan.
Melainkan, sebuah ikatan kebangsaan yang memperkuat Indonesia menghadapi tantangan zaman.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Dewan Pakar BPIP RI Bidang Geopolitik dan Geostrategi Manajemen Pemerintahan. Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).