Relevansi Tantangan Transformasi Birokrasi Manajemen Pemerintahan Pusat dan Daerah Dalam Mewujudkan Asta Cita

TRANSFORMASI birokrasi manajemen Pemerintahan Pusat dan Daerah merupakan agenda besar, yang tidak pernah kehilangan relevansinya dalam perjalanan pembangunan bangsa.
Birokrasi tidak bisa hanya dipahami sebagai mesin administratif yang bekerja menjalankan prosedur, melainkan sebagai wajah negara itu sendiri di hadapan rakyat.
Maka mutu birokrasi di era digital dan Artificial Intelligence (AI) saat ini, adalah cermin mutu penyelenggaraan pemerintahan, sehingga gagasan mentransformasikannya bukanlah sekadar pilihan, melainkan keniscayaan sejarah.
Secara konseptual, ada dua fondasi penting yang menjadi rujukan dalam upaya tersebut.
Secara konseptual, terdapat dua landasan penting yang menjadi pedoman dalam upaya ini.
Antara lain, pertama, New Public Management, dengan penekanan pada efisiensi, produktivitas, serta orientasi pada hasil.
Dan kedua, paradigma Good Governance, yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Kedua paradigma ini bila dipadukan bukan sekadar menghadirkan birokrasi modern, tetapi juga memperkokoh legitimasi politik negara.
Transformasi birokrasi manajemen dengan demikian bukannhanya proyek teknokratis, melainkan juga proyek moral yang menguji kesanggupan bangsa untuk menghadirkan tata Kelola yang bersih dan berkeadilan.
Maka cita-cita besar ini jangan berhenti pada jargon.
Tujuan mulia seperti pemerintahan yang bebas dari KKN, pe layanan publik yang berkualitas, serta birokrasi yang akuntabel, tidak hanya hidup di atas kertas melainkan pula terukur pencapaiannya.
Dengan begitu efisiensi tidak boleh sekadar dimaknai sebagai pemangkasan prosedur, tetapi harus terwujud dalam hemat biaya, percepatan pelayanan, serta kepuasan masyarakat.
Begitu pula akuntabilitas, yang tidak cukup dengan laporan internal, melainkan harus melibatkan pengawasan independent dan partisipasi warga.
Dengan kata lain, bahasa normatif harus diterjemahkan menjadi instrumen empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
Indonesia sejatinya telah mengupayakan penerjemahan gagasan tersebut dalam kebijakan nyata.
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025 menargetkan terciptanya birokrasi yang bersih dan akuntabel, efektif dan efisien, serta mampu menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas.
Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) juga menjadi tonggak lain dalam digitalisasi birokrasi.
Kendati demikian, masih ada tantangan besar dalam transformasi birokrasi, antara lain adalah mengubah budaya kerja yang hierarkis, kaku, dan cenderung mempertahankan status quo.
Oleh karena itu, dibutuhkan kepemimpinan visioner yang mampu menggerakkan perubahan, komunikasi yang efektif untuk menyatukan pemahaman, serta insentif yang mendorong adaptasi pegawai.
Lantaran transformasi birokrasi juga pada hakikatnya, adalah transformasi manusia yang ada di dalamnya.
Maka agenda besar lainnya adalah penguatan sumber daya manusia aparatur.
Tidak ada birokrasi yang modern tanpa(Aparatur Sipil Negara, ASN) yang kompeten dan adaptif.
Aparatur kini dituntut memiliki literasi digital, keterampilan analitis, dan kemampuan kepemimpinan adaptif.
DatanLembaga Administrasi Negarantahun 2024 menunjukkan baru sekitar 36 persen ASN yang memiliki kompetensi literasi digital memadai.
Angka ini memperlihatkan betapa seriusnya kesenjangan yang menghambat implementasi e- Government.
Pelatihan ASN harus berbasis kebutuhan nyata, bukan sekadar formalitas sertifikasi.
Bersamaan pula sistim pengawasan harus diperkuat.an nyata, bukan sekadar formalitas sertifikasi.
Teori “principal-agent” menegaskan bahwa birokrat sebagai agen negara berpotensi menyalahgunakan kewenangan bila pengawasan lemah.
Fakta menunjukkan 70 persen kasus korupsi yang ditangani KPK pada tahun 2022, terkait penyalahgunaan kewenangan birokrasi, mulai dari pengadaan barang hingga perizinan.
Oleh karena itu, pengawasan internal dan eksternal harus terintegrasi, dengan memanfaatkan teknologi seperti big data analytics untuk mendeteksi penyimpangan lebih dini.
Digitalisasi birokrasi, membawa harapan karena harus dirancang inklusif.
Belajar dari praktik global, Estonia menjadi contoh sukses digitalisasi birokrasi.
Negeri kecil itu mampu menghemat biaya setara 2 persen GDP per tahun berkat digitalisasi layanan publik.
Kuncinya bukan sekadar teknologi, melainkan konsistensi politik, integrasi sistem, dan kepercayaan publik pada keamanan data.
Indonesia dapat belajar bahwa teknologi hanyalah alat; yang menentukan adalah desain kelembagaan dan komitmen politik yang konsisten.
Semua itu, memang, kembali pada masalah mendasar: resistensi perubahan, keterba tasan kapasitas teknis, serta fragmentasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Reformasi birokrasi sering kali gagal karena tidak konsisten lintas rezim dan berhenti pada jargon politik.
Padahal, birokrasi adalah urat nadi negara.
Bila birokrasi tidak ditransformasikan secara serius, maka pembangunan bangsa akan terus tersandera oleh inefisiensi, korupsi, dan rendahnya legitimasi politik.
Karena itu, transformasi birokrasi membutuhkan kepemimpinan transformatif.
Pemimpin birokrasi harus hadir bukan hanya sebagai regulator, melainkan motor penggerak yang memberi teladan integritas.
Reformasi harus dijalankan secara menyeluruh dari pusat hingga daerah, dengan sistem informasi yang terhubung, pelatihan ASN yang berkelanjutan, serta digitalisasi yang inklusif.
Yang tidak kalah penting, agenda ini harus mendapat dukungan politik lintas pemerintahan agar tidak mati di tengah jalan.
Dari sinilah pula bahwa transformasi birokrasi, jadinya, adalah perjalanan panjang yang menuntut keberanian kolektif.
Ia bukan hanya urusan penye derhanaan jabatan atau pengadaan aplikasi digital, melainkan perombakan paradigma dan tata kelola.
Bila dijalankan konsisten, transformasi ini akan memperkuat daya saingnbangsa, meningkatkan legitimasi pemerintah, dan menghadirkan birokrasi yang sungguh sungguh menjadi pelayan rakyat.
Oleh karena itu, tantangan terbesar adalah mengatasi resistensi diri—baik dalam lingkupindividual officials and within the institutional and political spheres.
Namun, jika tantangan ini berhasil diatasi, birokrasi Indonesia akan menemukan kembali jati dirinya yang sesungguhnya: bukan sebagai beban, melainkan sebagai motor utama kemajuan nasional dan Asta Cita sebagai landasan strategi modernisasi menuju Indonesia Raya 2045.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Dewan Pakar BPIP RI Bidang Geopolitik dan Geostrategi Manajemen Pemerintahan. Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).