Gejolak Geopolitik Amerika Dan Jalan Stabilitas Menuju Indonesia Raya

Dunia hari ini bukan lagi sekadar bentangan peta ¬dengan garis-garis batas negara. Ia adalah jalinan nasib, simpul kepentingan, dan pusaran arus kekuatan yang menembus batas geografis. Amerika Serikat, dengan keperkasaannya sebagai kekuatan adidaya, adalah salah satu pusat arus besar itu. Setiap kebijakan luar negeri, setiap gejolak politik domestik, dan setiap langkah militernya beresonansi hingga ke Asia, Afrika, bahkan ke tanah air kita.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang “mengatasi gejolak geopolitik AS dan dampaknya terhadap stabilitas dalam negeri,” sejatinya kita sedang membicarakan bagai-mana Indonesia mampu menegakkan diri sebagai bangsa tangguh, tidak mudah terguncang oleh badai global, dan tetap berjalan menuju cita-cita Indonesia Raya. Indonesia Raya.
Dengan begitu membaca Amerika Serikat kini berada dalam pusaran geopolitik yang kian rumit. Rivalitas dengan Tiongkok mengeras, ketegangan di Timur Tengah tak kunjung reda, dan konflik Ukraina masih menjadi luka yang belum sembuh. Semua itu bukan hanya -pertarungan ideologi atau perebutan pengaruh, melainkan juga berdampak langsung pada harga energi, rantai pasok global, dan stabilitas pasar keuangan dunia.
Negeri itu, meski berjarak ribuan mil dari kita, tetap menjadi pusat gravitasi yang menggerakkan denyut ekonomi global. Ketika The Federal Reserve menaikkan suku bunga, arus modal global bergeser. Ketika Washington menjatuhkan sanksi kepada Rusia atau Iran, harga minyak melonjak. Ketika tensi politik domestik di Kongres meningkat, pasar keuangan dunia ikut bergetar.
Indonesia tentu tidak bisa berpura-pura berada di luar pusaran itu. Sebagai negara menuju negara maju, tentu saja, erat terhubung dengan perdagangan dan arus modal global, setiap gejolak di AS segera merembes masuk ke ruang domestik. Rupiah tertekan, harga pangan naik, biaya energi membengkak, dan stabilitas sosial ikut terancam. Inilah tantangan besar: bagaimana menjaga ketenangan dalam negeri di tengah dunia yang bergolak tanpa kehilangan arah menuju cita-cita kebangsaan.
Stabilitas bukanlah keadaan statis, melainkan proses dinamis. Ia bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga politik, sosial, bahkan budaya. Gejolak geopolitik AS memberi kita pelajaran bahwa stabilitas domestik harus bertumpu pada fondasi yang kokoh, bukan hanya respons jangka pendek. Pertama, fondasi ekonomi yang berdaulat: memperkuat ketahanan pangan, energi, dan industri dasar agar tak mudah terguncang fluktuasi global. Kedua, fondasi politik yang solid: menghindari perpecahan elite dan polarisasi rakyat yang melemahkan daya tahan bangsa. Dan ketiga, fondasi sosial-budaya yang menyatukan: persatuan nasional, sebagaimana diamanatkan Pancasila, adalah modal utama menghadapi tekanan eksternal.
Bagi Indonesia, hal ini berarti kebijakan ekonomi tak boleh berhenti pada angka-angka makro yang indah di atas kertas. Stabilitas sejati, adalah ketika harga pangan terjangkau, ketika anak-anak bersekolah tanpa cemas, ketika rakyat merasa aman dari ketidakpastian. Menghadapi guncangan global, negara wajib mengutamakan perlindungan bagi rakyat kecil, bukan semata-mata kepentingan pasar.
Geopolitik AS juga memperlihatkan bahwa dunia memasuki era multipolar. Hegemoni tunggal digugat, kekuatan baru bangkit, dan aliansi lama retak. Bagi Indonesia, ini bukan semata ancaman, tetapi peluang. Sebagai negara strategis di Indo-Pasifik, Indonesia dapat tampil sebagai penyeimbang, jembatan, bahkan pusat gravitasi baru. Namun untuk itu, stabilitas dalam negeri adalah syarat mutlak. Tak ada negara yang bisa memainkan peran global bila rumahnya sendiri rapuh.
Menuju Indonesia Raya berarti membangun kedaulatan yang kokoh, tidak tunduk pada tekanan geopolitik mana pun, tetapi juga tidak mengisolasi diri. Kita harus menapaki diplomasi yang luwes, menjaga hubungan dengan semua kekuatan besar, sembari selalu menempatkan kepentingan nasional sebagai kompas utama. Presiden Prabowo Subianto menekankan politik luar negeri yang bebas aktif serta pertahanan nasional yang kuat, agar Indonesia tidak mudah dipengaruhi tekanan eksternal.
Ada nilai inti yang tak boleh terlupakan: kemandirian. Gejolak geopolitik AS mengingatkan bahwa bangsa yang hanya menggantungkan diri pada kekuatan luar akan senantiasa rapuh. Indonesia harus berani membangun kemandirian ekonomi, memperkuat pertahanan, dan meneguhkan identitas kebangsaan. Kemandirian bukanlah penutupan diri, melainkan kemampuan untuk berdiri tegak di tengah pergaulan dunia tanpa kehilangan jati diri.
Jalan menuju Indonesia Raya adalah jalan panjang penuh gelombang. Gejolak geopolitik AS hanyalah salah satu badai di antara banyak badai yang akan datang. Namun, bila bangsa ini mampu menjaga stabilitas domestik, memperkuat persatuan, dan menegakkan kemandirian, maka setiap badai akan menjadi ujian yang memperkokoh, bukan menghancurkan.
Pelajaran terbesar yang bisa ditarik ialah ini: stabilitas domestik adalah benteng terakhir sekaligus landasan awal. Tanpanya, cita-cita Indonesia Raya hanyalah fatamorgana. Dengannya, segala badai global bisa dihadapi. AS, dengan segala keperkasaannya, tetap rapuh di hadapan gejolak geopolitik. Indonesia, dengan segala keterbatasannya, justru bisa menemukan kekuatan bila mampu menjaga harmoni dalam negeri.
Seperti kapal yang berlayar di samudra luas, kita memang tak bisa mengendalikan arah angin, tetapi bisa menata layar. Gejolak geopolitik AS adalah angin kencang: bisa menghantam, bisa pula mendorong kita lebih cepat ke tujuan. Semua bergantung pada kebijaksanaan menata layar, menjaga keseimbangan, dan berpegang teguh pada kompas kebangsaan. Kompas itu bernama Pancasila yang mengarahkan kita bukan hanya pada stabilitas, tetapi pada kejayaan: sebuah Indonesia Raya.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS adalah DIRJEN SOSPOL DEPDAGRI RI 1999-2001 DAN GUBERNUR LEMHANNAS RI 2001-2005, .