Meritokrasi Dan Politik Dalam Pemerintahan Menuju Indonesia Raya

Perombakan Kabinet atau Reshuffle Kabinet yang digelar di Istana Negara, Jakarta Pusat, -pada Rabu (8/10/2025), merupakan reshuffle kabinet keempat di era pemerintahan Prabowo Subianto. Reshuffle Kabinet Merah Putih ini menjadi momentum penting dalam dinamika politik Indonesia, karena ia mencerminkan pergeseran arah kebijakan, evaluasi terhadap kinerja, sekaligus strategi memperkuat legitimasi pemerintahan.
Bersamaan pula reshuffle seharusnya dibaca sebagai ujian sejauh mana meritokrasi benar-benar dijalankan dalam tubuh birokrasi negara. Apakah berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak, ataukah sekadar mengakomodasi kepentingan politik jangka pendek. Lantaran meritokrasi menuntut agar jabatan publik diisi oleh individu yang mampu membuktikan keunggulan melalui kinerja dan dedikasi, bukan hanya karena kedekatan politik maupun kalkulasi elektoral.
Kita hidup di negeri kepulauan yang berlimpah kekayaan, diikat oleh keberagaman budaya, -bahasa, dan sejarah. Namun kekayaan itu hanya bisa bermakna bila dikelola oleh tangan-tangan yang cakap dan berintegritas. Inilah yang menjadikan meritokrasi penting, dan inilah yang diuji dalam reshuffle kabinet: bahwa kepemimpinan nasional harus berani menyeleksi yang terbaik dari anak bangsa, lalu memberi mereka amanah untuk memimpin dan melayani.
Politik tanpa meritokrasi hanyalah panggung sandiwara yang diisi oleh aktor-aktor kebetulan, yang mungkin merdu kata-katanya tetapi rapuh tindakannya. Pemerintahan tanpa meritokrasi hanyalah mesin berkarat yang berjalan lamban, dipenuhi nepotisme dan patronase. Maka menjaga tradisi meritokrasi dalam momen reshuffle berarti menjaga darah yang mengalir dalam tubuh pemerintahan agar tetap bersih, segar, dan kuat.
Banyak bangsa yang jatuh bukan karena musuh dari luar, melainkan karena korupsi dari dalam; bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan karena gagal membangun sistem yang adil. Meritokrasi yang tak dijaga akan cepat tergelincir menjadi aristokrasi baru: kelas elite yang merasa dirinya berhak memimpin semata karena “pernah” unggul dalam seleksi, atau karena memiliki akses pada ¬pendidikan yang hanya dinikmati sebagian kecil kelompok sosial.
Untuk itu, Indonesia harus memahami meritokrasi bukan sebagai mekanisme administratif belaka, melainkan sebagai filsafat politik. Sebuah filsafat yang menuntut kesadaran kolektif: bahwa jabatan publik adalah amanah, bahwa kepercayaan rakyat adalah tanggung jawab moral, dan bahwa kekuasaan adalah ruang untuk bekerja bagi kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok.
Maka politik dalam pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari meritokrasi, sebab politik adalah ruang distribusi kekuasaan, dan meritokrasi adalah ukuran keadilan dalam distribusi itu. Ketika politik hanya dipenuhi transaksi, merit akan terbuang. Namun ketika politik berani memberi ruang bagi yang terbaik untuk tampil, pemerintahan akan menemukan legitimasi moralnya.
Meritokrasi di Indonesia bukan sekadar soal rekrutmen birokrat atau seleksi pegawai negeri. Ia harus dipahami sebagai tradisi budaya. Sekolah yang baik, universitas yang adil, ruang kerja yang menghargai prestasi, bahkan komunitas sosial yang mengakui usaha individusemuanya adalah batu bata yang menyusun dinding meritokrasi. Tanpa dukungan budaya sosial, meritokrasi akan timpang, hanya menjadi wacana di atas kertas kebijakan.
Dari sinilah harus digemakan bahwa jabatan bukan hadiah politik, melainkan hasil penilaian atas kapasitas dan dedikasi. Namun politik, dengan segala tarik ulur kepentingan, sering kali menjadi arus yang bisa menguatkan atau justru menghanyutkan meritokrasi. Di satu sisi, politik memberi arah: pemerintah berwenang mengalokasikan anggaran, merancang sistem seleksi aparatur, serta menetapkan standar kinerja.
Di sisi lain, politik bisa merusak: kepentingan jangka pendek, loyalitas partai, atau tekanan oligarki dapat membuat merit terabaikan. Karena itu, dibutuhkan tata kelola yang kokoh: lembaga seleksi independen, transparansi publik, mekanisme akuntabilitas, dan budaya -organisasi yang menghargai integritas.
Jika kita bercermin pada pengalaman negara lain, meritokrasi terbukti menjadi kunci keberlanjutan. Tiongkok modern menegakkan sistem ujian birokrasi sejak ribuan tahun lalu untuk memastikan administrasi diisi oleh orang-orang terdidik. Singapura menjadikan meritokrasi sebagai tulang punggung, menekankan seleksi ketat dan promosi berbasis kinerja.
Namun pelajaran juga datang dari sisi gelap: meritokrasi yang terlalu kaku dapat melahirkan elitisme, menciptakan jurang antara “yang berhasil” dan “yang gagal”. Dari sinilah Indonesia harus belajar, di mana Indonesia Raya yang kita cita-citakan adalah negeri yang bukan hanya besar di peta, melainkan juga kuat dalam tata kelola, adil dalam distribusi, dan luhur dalam cita moral. Untuk mencapainya, meritokrasi harus menjadi tradisi yang tak tergoyahkan.
Sebuah tradisi yang melampaui rezim, melampaui ke¬pentingan politik sesaat: siapa pun yang mendapat jabatan publik, ia ada di sana bukan karena keluarga, bukan karena uang, melainkan karena ia pantas, ia layak, ia telah berjuang. Politik pemerintahan yang berlandaskan meritokrasi akan melahirkan birokrasi yang tangguh, kebijakan yang rasional, dan rakyat yang percaya pada negaranya.
Meritokrasi bukanlah jaminan mutlak untuk keadilan, tetapi ia adalah pondasi yang tak tergantikan. Tanpa merit, negara akan tenggelam dalam favoritisme, korupsi, dan mediokritas. Dengan merit, Indonesia punya kesempatan untuk melangkah menuju masa depan yang lebih jernih, di mana setiap anak bangsa merasa punya ruang untuk berjuang, dan setiap usaha yang tulus mendapatkan pengakuan.
Maka ketika kita berbicara tentang Indonesia Raya, kita berbicara tentang negara yang berani menolak jalan pintas, negara yang berani menolak nepotisme, negara yang berani mengatakan bahwa yang terbaiklah yang akan memimpin. Indonesia Raya adalah cita-cita yang menuntut kita menjaga api meritokrasi agar tak padam, meski badai politik datang silih berganti.
Dalam api itulah berpendar cahaya harapan—bahwa bangsa ini bisa besar bukan karena -warisan semata, melainkan karena usaha kolektif yang adil dan setara. Meritokrasi, pada akhirnya, adalah napas panjang yang menjadikan ideologi Pancasila semakin kokoh di bumi Indonesia Raya berdiri tegak, menatap dunia dengan kepala tegak, dan berjalan mantap menuju masa depan yang berdaulat, adil, dan makmur.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah DIRJEN SOSPOL DEPDAGRI RI ¬1999-2001 DAN GUBERNUR ¬LEMHANNAS RI 2001-2005.