Mewaspadai Geopolitik Dunia: Tanah Jarang di Pusat Perang Bahan Baku Global
DOMINASI China atas logam tanah jarang kembali menampakkan wajah geopolitiknya sepanjang April–Juni 2025, ketika Beijing memberlakukan kontrol ekspor baru (April 2025). Karuan saja ini memicu kelangkaan yang segera mengguncang industri global. Antara lain Ford menghentikan sebagian produksi di Chicago, AS. Juga Uni Eropa pada awal Juni 2025, memperingatkan penutupan pabrik di berbagai negara akibat krisis magnet permanen tersebut.
Rangkaian itu memperlihatkan bagaimana satu kebijakan dari Beijing dapat beresonansi hingga ke jantung industri Barat—dari Detroit hingga Düsseldorf—mengungkap rapuhnya ketergantungan terhadap negara yang menguasai hampir seluruh pemurnian global.
Dalam arsitektur dunia yang terhubung sedemikian dalam, kekuasaan bukan lagi sekadar kemampuan militer, tetapi kemampuan mengatur aliran mineral yang menopang seluruh peradaban digital. China menguasai logam tanah jarang, menjadi fakta bagaimana kekuasaan di abad ke-21 bergerak sunyi, jauh dari parade militer dan pidato megah, tapi menetap di jantung peradaban digital.
Mineral-mineral tak terlihat ini—yang tertanam dalam smartphone, kendaraan listrik, sistem radar, dan pesawat tempur—telah menjadi bahasa baru dalam perebutan kekuasaan global. Dengan mengendalikan sebagian besar produksi dan hampir seluruh kapasitas pengolahan global, Beijing secara efektif memegang kendali atas denyut nadi industri ekonomi-ekonomi besar.
Sebuah peraturan ekspor dari China dapat mengganggu pasokan di Chicago, menghentikan operasional pabrik-pabrik di Eropa, atau memaksa Washington untuk menegosiasikan ulang keyakinan strategisnya. Namun, krisis ini lebih dari sekadar masalah rantai pasokan; ini adalah gambaran yang jelas tentang pergeseran arah sejarah.
Ketika perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (AS) menutup lini produksi dan memperkirakan bahwa stok tanah jarang mereka akan habis dalam hitungan bulan, kita melihat bagaimana kompetisi teknologi berubah menjadi perebutan eksistensi. Eropa, yang hampir sepenuhnya bergantung pada magnet permanen dari China, mendapati dirinya berada dalam lanskap geopolitik yang rapuh— dunia di mana satu celah dalam logistik dapat mengancam masa depan industri otomotif, pertahanan, hingga kesehatan.
Ketergantungan itu berubah menjadi kecemasan kolektif: kecemasan bahwa masa depan tidak lagi ditentukan oleh inovasi, tetapi oleh kemampuan untuk mengamankan mineral yang tak digubris publik.
Membangun “Benteng Mineral”
Maka tidak mengherankan jika G7, Uni Eropa, dan Amerika Serikat kini berusaha membangun “benteng mineral” mereka sendiri. Dari pabrik pemurnian baru di Estonia dan Perancis, hingga ambisi AS menggali potensi Greenland. Jelaslah, dunia Barat sedang berupaya menata ulang arsitektur kekuatannya.
Namun, upaya itu melewati jalan yang panjang dan berliku—dibayangi biaya tinggi, regulasi ketat, dan waktu yang tak bersahabat.
China merajut rantai pasok bumi-langka selama puluhan tahun; Barat ingin menirunya dalam satu dekade.
Karuan saja jurang waktu inilah yang menjelma menjadi jurang strategis, mengubah posisi tawar negara-negara dan memaksa mereka menata ulang perhitungan geostrategisnya. India pun masuk ke dalam orbit persaingan ini. Meski memiliki cadangan besar, negara ini belum memiliki kemampuan pemurnian yang memadai untuk menandingi China. Bahkan New Delhi harus membatasi ekspor untuk menjaga kebutuhan industri dalam negeri. Fenomena ini memperlihatkan bahwa perebutan tanah jarang adalah perebutan pengetahuan, teknologi, dan waktu: sumber daya yang tak dapat diperoleh hanya dengan menggali mineral dari tanah.
Ketika negara-negara besar saling menegosiasikan akses, tekanan, dan keringanan, terlihat dengan jelas bahwa geopolitik hari ini bukan lagi tentang garis perbatasan, melainkan tentang siapa yang menguasai material dasar untuk menghidupkan masa depan.
Di tengah pusaran inilah China memegang kartu yang sulit ditandingi. Ia dapat mengencangkan atau melonggarkan keran ekspor, menaikkan atau menurunkan harga global, menghidupkan atau mematikan pabrik di negara lain.
Dominasi China atas tanah jarang tidak muncul secara tiba-tiba; ia tumbuh seperti akar yang pelan, tetapi pasti menembus lapisan bumi. Negara ini, kini menguasai lebih dari 60–70 persen produksi global, hampir 90 persen kapasitas pemurnian, dan sebagian besar manufaktur magnet permanen NdPr yang menjadi jantung perangkat teknologi modern.
Sejak 1990-an, Beijing menata sektor ini melalui strategi yang tak banyak disorot dunia: nasionalisasi izin tambang, investasi bertahap, tapi masif pada teknologi pemrosesan. Serta, toleransi lingkungan yang memungkinkan mereka menekan biaya hingga level yang tak dapat disaingi negara lain.
Maka di tangan China, Rare Earth Elements (REE) –adalah Unsur Tanah Jarang, berubah dari sekadar unsur kimia menjadi instrumen geostrategis. Dari itu China bukan hanya menguasai deposit, tetapi seluruh value chain—dari ekstraksi hingga pemurnian, dari pemisahan unsur hingga produksi magnet canggih yang menggerakkan ekonomi masa depan.
Pada beberapa momen penting, Beijing menunjukkan betapa rapuhnya struktur pasokan dunia: pada 2010 ketika ketegangan dengan Jepang meningkat, pengiriman REE ditahan sebagai sinyal diplomatik. Seolah dunia disadarkan bahwa bahan baku dapat menjadi bahasa tekanan, dan mineral dapat berubah menjadi alat negosiasi.
Di tengah globalisasi yang tampak tanpa batas, justru rantai pasok inilah yang membuktikan bahwa kekuatan selalu punya pusat gravitasi. Ketika rivalitas AS–China memasuki fase perang teknologi, REE menjadi medan kontestasi yang lebih senyap, tetapi jauh lebih menentukan.
AS, Uni Eropa, Jepang, dan sekutu lainnya mulai menyadari bahwa ketergantungan struktur industri mereka kepada China ibarat membangun masa depan di atas fondasi yang dapat diguncang kapan saja.
Kekhawatiran mereka tidak hanya ekonomis, tetapi eksistensial: industri jet tempur, kapal perang, satelit, sistem radar—semua membutuhkan tanah jarang. Dalam bayang-bayang kompetisi dua kekuatan besar, dominasi China berubah menjadi bentuk ancaman strategis yang merayap, menekan, dan sulit diputuskan tanpa mengguncang stabilitas ekonomi sendiri.
Ketergantungan asimetris ini menciptakan geografi politik yang rapuh, seperti jembatan panjang yang ditopang oleh satu tiang utama. Dunia yang tengah membutuhkan stabilitas justru mendapati dirinya menghadapi titik rawan baru: rantai pasok REE dapat menjadi pemicu eskalasi konflik global.
Di tengah ketegangan kawasan, ketidakpastian pasar, dan percepatan transisi energi, setiap gangguan pasokan dapat memunculkan gelombang instabilitas yang merambat dari industri teknologi hingga strategi pertahanan. Inilah ironinya abad ke-21: kemajuan teknologi yang kita banggakan ternyata berdiri di atas unsur-unsur kecil yang begitu rentan dipolitisasi.
India menawarkan “Jalur Ketiga”
Di tengah struktur pasokan global yang condong ke satu pusat gravitasi, yakni China, justru India bergerak seperti kekuatan yang perlahan menemukan bentuknya sendiri. Negara ini menempuh jalur berbeda, mencoba keluar dari dominasi China dan menapaki jalan menuju kemandirian strategis.
Upayanya mengembangkan industri tanah jarang dan memperluas kapasitas ekspor bukan sekadar kebijakan ekonomi, tetapi pernyataan politik tentang keinginannya menjadi pemain alternatif dalam rantai pasok mineral kritis dunia. India menawarkan semacam “jalur ketiga”, ruang di antara kepadatan hegemoni China dan konsorsium industri Barat—ruang yang mungkin melahirkan konfigurasi baru dalam peta kekuatan global.
Respons Barat terhadap langkah India mengalir seperti angin yang menyambut perubahan arah. Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa melihat India bukan hanya sebagai mitra dagang, tetapi sebagai simpul strategis dalam menghadapi perang teknologi yang semakin intens dengan China.
Dalam dunia yang sedang diliputi ketegangan perang, krisis energi, dan kerentanan pasokan, kolaborasi dengan India menjadi bagian dari ikhtiar memperkuat stabilitas rantai pasok Indo-Pasifik. Di balik bilik perundingan diplomatik, kerja sama ini mengandung harapan akan terciptanya perdamaian kawasan melalui pembangunan arsitektur pasokan yang tidak mudah dipolitisasi oleh satu kekuatan tunggal.
Namun, perjalanan India tidak bergerak di atas tanah yang rata. Setiap langkahnya memunculkan riak geopolitik—mulai dari kecemasan China, kompetisi harga yang semakin tajam, hingga tensi diplomatik yang merayap di bawah permukaan. Selain tekanan eksternal, India masih harus bergulat dengan keterbatasan teknologinya sendiri: kapasitas pemurnian yang belum canggih, risiko pencemaran lingkungan, serta resistensi sosial di wilayah pertambangan yang selama ini memikul beban ekologis pembangunan.
Upaya India membangun industri strategis ini ibarat menyusun menara tinggi di atas fondasi yang sedang dikuatkan; penuh potensi, tetapi juga penuh ketidakpastian.
Dalam konteks menjaga keseimbangan geopolitik Indo-Pasifik—kawasan yang kini menjadi panggung utama rivalitas kekuatan besar—kehadiran India menawarkan peluang yang tidak kecil. Jika India mampu menjadi pemasok stabil REE, maka struktur ketergantungan kawasan terhadap China dapat terurai perlahan.
Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Jepang, Australia, dan bahkan Uni Eropa di luar kawasan akan memperoleh ruang manuver baru. Dengan menyebarnya pusat-pusat pasokan, ketegangan yang bersumber dari perebutan bahan baku dan teknologi dapat mereda, memperkecil kemungkinan konflik yang lahir dari struktur ketergantungan yang terlalu tajam.
Kepentingan Geopolitik Indonesia
Dalam lanskap geopolitik mineral kritis, Indonesia berdiri di antara janji besar dan keraguan lama. Karuan saja Indonesia jadi semacam negeri besar yang lamban mengolah potensi besarnya.
Di mana negeri ini menyimpan tanah jarang dalam endapan timah Bangka Belitung, bauksit Kalimantan, dan nikel Sulawesi. Namun, semua ini belum sungguh-sungguh digali. Tanah jarang itu, yang dalam peta ekonomi dunia telah menjadi inti syaraf peradaban teknologi, masih kita simpan dalam bayang-bayang wacana, seakan negara ini belum sepenuhnya memutuskan apakah ia ingin benar-benar hadir dalam sejarah baru industri global.
Keterbatasan teknologi pemurnian, ketidaksinkronan regulasi, dan investasi yang tertahan menjadikan potensi itu ibarat energi yang belum menemukan bentuknya –menunggu momentum dan kemauan kolektif bangsa.
Di mata geopolitik, REE bukan sekadar komoditas; ia adalah pintu menuju otonomi intelektual dan industrial. Indonesia tidak boleh membiarkan dirinya kembali terperangkap dalam pola lama: mengekspor tanahnya, tetapi mengimpor masa depannya.
Di dunia yang didefinisikan oleh perang teknologi dan perebutan bahan baku, kedaulatan industri menjadi bagian dari martabat bangsa. Karena itu, perjalanan Indonesia harus bergerak dari eksploitasi menuju industrialisasi—dari sekadar menggali tanah menuju mengolah pengetahuan.
Pemurnian, litbang, manufaktur magnet permanen, hingga teknologi lanjutan harus menjadi nafas baru pembangunan; metamorfosis dari negara yang menjual bahan mentah menjadi negara yang membangun masa depan.
Maka kepentingan geopolitik Indonesia, dalam konteks ini, bertumpu pada beberapa orientasi yang saling terkait. Antara lain, mengamankan posisinya dalam perang bahan baku global melalui diversifikasi mitra teknologi—merangkul Jepang, Korea Selatan, India, dan Eropa, sambil tetap menjaga hubungan konstruktif dengan China.
Indonesia harus menari di antara kutub-kutub kekuatan tanpa terperangkap dalam rivalitas mereka; ia harus berdiri sebagai bangsa yang memanfaatkan persaingan global untuk memperkuat dirinya sendiri, bukan sebagai ruang perebutan bagi kepentingan negara lain. Kemudian menjadikan REE sebagai bagian dari arsitektur perdamaian kawasan.
Indonesia, dengan politik luar negeri bebas aktifnya, memiliki posisi moral untuk mengusulkan tata kelola mineral kritis yang damai, transparan, dan lestari. Di tengah turbulensi Indo-Pasifik, REE dapat menjadi medium diplomasi, bukan bara yang menyulut konflik.
Dengan memainkan peran sebagai penyeimbang, Indonesia bukan hanya menjaga kepentingan nasionalnya, tetapi juga berkontribusi pada ekosistem stabilitas regional yang lebih luas.
Dalam dunia yang memasuki “perang dingin baru berbasis teknologi,” bangsa besar yang bernama Indonesia tidak boleh menjadi penonton pasif; ia harus hadir sebagai pelaku yang mampu memaknai peluang geopolitik, menguatkan kedaulatan, dan menanamkan perdamaian sebagai orientasi strategisnya.
Di tengah gemuruh perebutan mineral kritis yang menentukan arah peradaban, Indonesia sesungguhnya sedang diundang untuk menulis ulang peran sejarahnya—bukan dengan tergesa, tetapi dengan kejernihan visi; bukan dengan ambisi kosong, tetapi dengan kesadaran bahwa kedaulatan hari esok bergantung pada keberanian hari ini.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
adalah DIRJEN SOSPOL DEPDAGRI RI 1999-2001 DAN GUBERNUR LEMHANNAS RI 2001-2005.
Mantan Gubernur Institut Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI) (2001–2005)
