Lemhannas RI Terus Berkarya Membangun Revolusi Mental Kepemimpinan Pemerintahan Daerah Berjiwa Pancasila
Dalam spirit Pancasila dan Asta Cita, bangsa ini memandang kekuasaan bukan sekadar alat untuk memerintah, tetapi amanah untuk memuliakan kehidupan bersama. Pemerintah bukanlah menara gading yang berdiri jauh dari rakyat, melainkan lembaga pengabdian yang menempatkan manusia dan martabatnya sebagai pusat dari segala kebijakan.
Sila keempat Pancasila -kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan- menjadi landasan moral bahwa kekuasaan hanya sah jika diolah secara bijak, berakal sehat, dan berpihak pada kesejahteraan publik. Sementara itu Asta Cita pemerintahan yang diusung saat ini—dari penguatan pembangunan manusia, pemerintahan bersih, pertahanan negara yang kuat, hingga Indonesia yang berdaulat di panggung dunia—menghendaki hadirnya pemimpin-pemimpin daerah yang tidak hanya pandai mengelola anggaran, tetapi juga menghayati jati diri bangsa.
Dalam konteks inilah, Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, ketika membuka Kursus Pemantapan Pimpinan Daerah (KPPD) Gelombang II Lembaga Ketahanan Nasio¬nal (Lemhannas) pada Rabu (5/11/2025), mengingatkan pentingnya peningkatan kapabilitas kepala daerah. Peringatan ini tidak sekadar menyasar kompetensi teknis birokrasi, tetapi merupakan ajakan moral dan politik untuk memastikan bahwa pelaksanaan desentralisasi berjalan dalam koridor persatuan nasional.
Sebab, desentralisasi yang tidak dibarengi kapasitas kepemimpinan yang kuat, hanya akan menghasilkan fragmentasi dan memperlemah keutuhan negara. Karena itu, penguatan kepala daerah adalah upaya menjaga agar otonomi tidak menjadi jalan pemisahan, melainkan sarana memperkokoh integrasi bangsa.
Tambahan pula Indonesia, sebagai negara kepulauan, menghadapi kompleksitas tata kelola yang tak dialami negara-negara benua. Cina, India, atau Amerika Serikat mengelola wilayah yang daratannya menyambung, sementara Indonesia harus menjahit lebih dari 17 ribu pulau yang dipisahkan lautan, gunung, sungai, dan sejarah peradaban lokal yang berbeda-beda.
Dalam situasi demikian, mengirim kebijakan dari pusat ke daerah tidak pernah cukup hanya dengan regulasi atau surat keputusan. Ia membutuhkan dukungan logistik, komunikasi yang efektif, keberpihakan sosial, serta kepekaan budaya. Di sinilah konsep “biaya administrasi ruang” menjadi nyata, karena mengelola wilayah Indonesia tidak hanya soal administrasi, tetapi juga tentang bagaimana merawat kepercayaan, rasa memiliki, dan solidaritas kewarganegaraan.miliki, dan solidaritas kewarganegaraan.
Oleh karena itu, penguatan kapasitas kepala daerah bukan sekadar untuk mempercepat pelayanan publik, melainkan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan kebudayaan. Maka kepala daerah harus menjadi penerjemah kebijakan nasional agar sesuai dengan kebutuhan lokal tanpa menghilangkan roh persatuan. Mereka juga harus mampu mengelola dinamika sosial, meredam potensi konflik horizontal, serta memastikan bahwa pembangunan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Dalam konteks geopolitik domestik, kepala daerah adalah benteng pertama yang menentukan apakah negara mampu bertahan sebagai entitas yang bersatu di tengah derasnya arus globalisasi, politik identitas, dan disrupsi teknologi. Dengan begitu kapasitas kepala daerah, adalah penentu apakah otonomi akan menjadi berkah yang memajukan atau justru membuka celah disintegrasi. Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan pusat; ia membutuhkan pemimpin daerah yang memahami realitas geografis, sosial, dan budaya bangsanya.
Dalam konteks geopolitik domestik, kepala daerah adalah benteng pertama yang menentukan apakah negara mampu bertahan sebagai entitas yang bersatu di tengah derasnya arus globalisasi, politik identitas, dan disrupsi teknologi. Dengan begitu kapasitas kepala daerah, adalah penentu apakah otonomi akan menjadi berkah yang memajukan atau justru membuka celah disintegrasi. Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan pusat; ia membutuhkan pemimpin daerah yang memahami realitas geografis, sosial, dan budaya bangsanya. seni pemerintahan (kemampuan memetakan masa depan dan mengarahkan kebijakan), manajemen publik (kemampuan mengelola sumber daya dan institusi), serta pengelolaan jaringan (kemampuan membangun jejaring lintas sektor pemerintah, swasta, masyarakat sipil).
Di sinilah pula Lemhannas RI dan BPSDM Kemendagri, dalam kerangka pembangunan negara modern, memegang peranan strategis. Lemhannas menanamkan benih wawasan kebangsaan, bahwa Indonesia bukan hanya konstruksi wilayah, tetapi perjanjian moral untuk hidup bersama dalam perbedaan; sedangkan BPSDM mengasah keterampilan teknis pemerintahan. Desentralisasi tanpa roh Pancasila hanya akan melahirkan raja-raja lokal yang memerintah tanpa visi.
Dalam dunia yang bergerak cepat dari transformasi digital, krisis iklim, hingga kompetisi global atas sumber daya kepala daerah tidak lagi cukup menjadi administrator; mereka adalah aktor geopolitik mikro yang menentukan apakah bangsa ini bergerak menuju kemandirian atau justru menjadi pasar bagi kepentingan asing. Mereka harus mampu menjaga tanah, air, dan udara dari eksploitasi yang tak bermoral; menjaga rakyat dari politik uang; dan menjaga negara dari fragmentasi sosial.
Maka, tugas kita hari ini bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi infrastruktur jiwa-jiwa Pancasila yang berakar, jiwa Asta Cita yang membumi, jiwa Indonesia yang merdeka. Kursus pemantapan kepemimpinan seperti KPPD Lemhannas hanya akan bermakna jika melahirkan pemimpin yang tidak silau oleh kekuasaan, tetapi teduh dalam hikmat; tidak haus sanjungan, tetapi rindu pengabdian.
Sejatinya, revolusi mental dicanangkan presiden pertama RI Ir. Soekarno, yang dapat menyatukan bangsa ini bukan besarnya gedung pemerintahan atau megahnya anggaran, tetapi keyakinan bahwa kita sedang berjalan menuju masa depan yang diperjuangkan bersama. Dan di tengah perjalanan panjang itu, keutuhan kedualatan, persatuan dan kesatuan NKRI, peran kepala daerah bukan sekadar pejabat; mereka adalah penjaga fajar, yang menentukan apakah Indonesia akan menyambut cahaya menuju Indonesia Raya.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
adalah DIRJEN SOSPOL DEPDAGRI RI 1999-2001 DAN GUBERNUR LEMHANNAS RI 2001-2005.
Mantan Gubernur Institut Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI) (2001–2005)
