Geopolitik Dan Geostrategi Kepala Daerah Mengendalikan Inflasi Daerah
Dalam lanskap Indonesia yang terbentang bak anyaman kepulauan di atas sabuk khatulistiwa, persoalan inflasi daerah tidak pernah berdiri sebagai sekadar gejala ekonomi yang harus ditangani dengan kalkulasi angka dan indikator statistik. Ia lebih mirip arus pasang surut yang bergerak melalui ruang, kekuasaan, psikologi kolektif, dan struktur sosial yang saling berkelindan dalam suatu tarikan geopolitik yang jauh lebih dalam.
Ketika para kepala daerah di seluruh Indonesia berupaya mengendalikan inflasi, mereka sebenarnya tidak hanya tengah memainkan instrumen kebijakan fiskal atau pengawasan distribusi; mereka sedang menata kembali keseimbangan yang rapuh antara kebutuhan rakyat, ketersediaan ruang ekonomi, serta arah sejarah yang senantiasa bergerak. Dalam perspektif ini, inflasi menjadi cermin yang memantulkan apakah sebuah daerah mampu mengartikulasikan Pancasila sebagai visi, dan apakah Asta Cita benar-benar hidup dalam denyut kebijakan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Geopolitik inflasi daerah muncul dari realitas bahwa harga bukan fenomena ¬tunggal; ia adalah hasil perjumpaan ¬antara geografi, infrastruktur, ke¬kuatan pasar, dan jejaring kekuasaan. Sebuah provinsi di timur Indo¬nesia misalnya, me¬rasakan ¬fluktuasi harga lebih cepat dibandingkan daerah di Pulau Jawa ketika distribusi barang tersendat akibat cuaca ekstrem atau keterbatasan konektivitas.
Di titik itulah kepala daerah dituntut bukan hanya menjadi administrator, melainkan -negarawan yang peka terhadap artikulasi ruang: ia harus ¬mampu membaca bagaimana jalur laut, pasar tradisional, pelabuhan, lumbung pangan, hingga perilaku konsumen berinteraksi membentuk pola yang kadang tak terlihat. Politik harga, dalam pengertian geopolitik, adalah seni memahami bagaimana ¬ruang menentukan kesejahteraan. Tidak berlebihan bila stabilitas harga di suatu daerah merupakan refleksi langsung kecakapan pemimpin dalam mengelola interaksi antara ¬ruang hidup masyarakatnya dan ¬dinamika ekonomi nasional.
Geostrategi yang dibutuhkan kepala daerah, oleh karena itu, bukan strategi teknokratis belaka, melainkan strategi yang melihat manusia, budaya, dan kewilayahan sebagai satu kesatuan. Kendali inflasi sesungguhnya bergantung pada kemampuan daerah memastikan keberlanjutan pasokan pangan, kestabilan distribusi, serta penguatan ketahanan sosial. Di banyak daerah, pasar tradisional merupakan simpul ekonomi kerakyatan yang tidak hanya berfungsi sebagai ruang transaksi, melainkan juga arena reproduksi nilai budaya, solidaritas sosial, dan kepercayaan.
Ketika kepala daerah memperkuat sentra-sentra tersebut dengan tata kelola yang tra-nsparan, infrastruktur pendukung, serta pengawasan harga yang adil, maka ia sejatinya sedang menghidupkan sila kelima Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Inflasi menanjak, justru bukan saja karena faktor ekonomi, tetapi ketika keadilan dalam distribusi terganggu; ketika rantai pasok dikuasai segelintir; ketika dominasi pasar meminggirkan petani, nelayan, atau pelaku UMKM; ketika kota dan desa tidak lagi saling menyokong.
Pemikiran geopolitik memberi kepada para kepala daerah kesadaran bahwa ruang Indonesia bukan entitas tunggal, melainkan mosaik yang memiliki dinamika unik. Di Sumatera, harga cabai mencerminkan ritme hubungan antara lahan, musim, dan logistik antarpulau. Di Nusa Tenggara, inflasi berkelindan dengan ketersediaan kapal, kecukupan pakan ternak, serta perubahan iklim. Di Kalimantan, stabilitas harga makanan pokok bergantung pada jaringan sungai dan kemampuan intervensi logistik pemerintah.
Identifikasi terhadap pola-pola itu mengajarkan para gubernur, bupati, dan wali kota bahwa mengendalikan inflasi adalah upaya mengendalikan dinamika lintas batas administratif. Kebijakan mereka hanya efektif jika mereka mampu merajut koordinasi yang kuat dengan daerah tetangga, sebab jalur distribusi pangan tak mengenal batas politis. Pada titik ini, geostrategi daerah menjadi seni mengolah jejaring kerja sama antardaerah, menciptakan kolaborasi, dan memetakan ulang identitas ruang menjadi satu kesatuan ekonomi nasional.
Dalam kerangka Pancasila pemerintahan nasional saat ini, Asta Cita, pengendalian inflasi daerah merupakan bagian dari amanat moral untuk memastikan negara hadir dalam ruang penghidupan masyarakat paling konkret: ketersediaan barang, keterjangkauan harga, dan kepastian masa depan ekonomi rumah tangga. Di tengah dunia yang mudah bising oleh ketidakpastian global—mulai dari perang, krisis energi, hingga perubahan iklim—kepala daerah menjadi garda terdepan yang menjaga agar kegelisahan global tidak merembes terlalu dalam ke kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Geostrategi kepala daerah dalam mengendalikan inflasi juga harus melihat dimensi kemandirian. Ketergantungan pada pasokan dari luar daerah, meskipun wajar, tidak boleh menjadi pola permanen. Daerah memerlukan strategi jangka panjang untuk memperkuat cadangan pangan lokal, memperluas irigasi, memperbaiki produktivitas pertanian, mengelola air secara berkelanjutan, serta memodernisasi sistem logistik.
Pemikiran geopolitik mengajarkan bahwa mereka yang bergantung pada pihak lain, akan dipengaruhi oleh dinamika yang berada di luar kendalinya. Kedaulatan ekonomi lokal, adalah pondasi bagi kestabilan harga. Bila daerah mampu memproduksi sebagian besar kebutuhan dasarnya sendiri, inflasi dapat ditekan bukan dengan operasi pasar semata, tetapi melalui kekuatan struktur pasok yang mandiri dan berkelanjutan. Pada titik ini, kepala daerah menjadi arsitek ruang hidup yang tidak sekadar bertahan, tetapi tumbuh.
Mengendalikan inflasi juga memerlukan kebijaksanaan dalam memahami psikologi masyarakat. Harga tidak naik hanya karena barang kurang; sering kali inflasi dipicu persepsi, kecemasan, dan spekulasi. Kepala daerah perlu menjadi komunikator publik yang mampu menenangkan, menjelaskan, serta membangun kepercayaan. Dalam tradisi kepemimpinan Indonesia, dari tokoh-tokoh lokal hingga tokoh nasional, kepercayaan merupakan modal yang sering kali lebih kuat daripada instrumen kebijakan apa pun.
Maka ketika rakyat percaya pada pemimpinnya, karuan saja kepanikan berkurang, spekulasi mereda, dan kestabilan ruang sosial terjaga. Pengendalian inflasi tidak pernah berdiri terpisah dari pengendalian persepsi. Geopolitik mengajarkan bahwa kekuasaan tidak hanya terletak pada teritori, tetapi juga pada kemampuan membentuk narasi atas teritori itu.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
adalah DIRJEN SOSPOL DEPDAGRI RI 1999-2001 DAN GUBERNUR LEMHANNAS RI 2001-2005.
Mantan Gubernur Institut Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI) (2001–2005)
