Tafsir Geopolitik Indonesia Berbasis Pancasila Terhadap Krisis China-Jepang
KETEGANGAN antara Tiongkok dan Jepang yang semakin memanas hari-hari ini, bukan sekadar geliat diplomatik yang muncul dari pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi pada Oktober 2025. Melainkan pula gema panjang dari riwayat dua bangsa yang pernah saling melukai dan saling mendefinisikan melalui konflik.
Di balik pernyataan itu, mengalir bayang-bayang sejarah yang tak pernah benar-benar padam: ambisi kekaisaran, agresi militer, dan luka-luka yang membekas dalam ingatan kolektif Asia Timur. Tragedi Pembantaian Nanking 1937—yang merenggut lebih dari dua ratus ribu nyawa—bukan sekadar catatan kelam, melainkan sebuah cermin yang terus memantulkan retakan moral masa lalu setiap kali hubungan kedua negara kembali menegang.
Saat Takaichi menegaskan bahwa Jepang tidak dapat berdiam diri jika Taiwan diserang, pernyataan itu menembus lebih jauh dari podium politik; ia memasuki kawasan yang sarat sensitivitas geopolitik dan sejarah yang rapuh. Beijing memandangnya sebagai intervensi terhadap ruang internalnya, dan reaksi keras pun muncul: diplomasi yang mengeras, latihan militer yang memanas, hingga retorika ekstrem yang menunjukkan bagaimana konflik bukan hanya terjadi di atas peta, tetapi juga di dalam ruang psikologis masyarakat kedua bangsa.
Ketegangan ini, seperti angin musim dingin, membuat udara politik Asia Timur kembali kaku dan penuh kewaspadaan. Dalam arus yang bergolak itu, Pancasilaterutama prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab—menawarkan lensa moral untuk menimbang setiap tindakan dan reaksi. Di kawasan padat penduduk seperti Asia Timur, perang bukanlah hanya urusan negara besar yang ingin mempertahankan pengaruh, tetapi juga ancaman nyata terhadap kehidupan miliaran manusia. Saat dua kekuatan besar saling menajamkan pandangan, yang terancam bukan hanya investasi atau jalur perdagangan, tetapi juga martabat manusia, keamanan keluarga-keluarga biasa, dan masa depan generasi yang belum lahir.
Di tengah hiruk pikuk nasionalisme dan narasi kekuatan, Pancasila mengingatkan bahwa peradaban harus didirikan di atas belas kasih, bukan ketakutan. Di selatan episentrum ini, ASEAN (Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara) —yang memandang stabilitas sebagai fondasi kemakmuran—merasa getarannya dengan sangat jelas. Setiap eskalasi di Laut China Timur dapat merembes ke dinamika di Laut China Selatan, memengaruhi jalur logistik, keamanan maritim, hingga ruang diplomasi Asia Tenggara.
Indonesia, sebagai jangkar moral kawasan, membawa beban historis dan tanggung jawab normatif untuk memastikan bahwa Asia tidak kembali menjadi ladang konflik kekuatan besar. Dalam politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia menemukan ruang untuk menghadirkan suara yang menyejukkan, sebuah ajakan agar negara-negara tidak terperangkap dalam logika balas dendam sejarah.
Merembes ke Asia Tenggara
Taiwan, yang hanya berjarak sekitar 110 kilometer dari Yonaguni—pulau mungil di ujung barat daya Jepang—bukan sekadar titik pada peta, melainkan simpul halus tempat arus sejarah, strategi, dan harapan manusia saling bertaut. Di ruang sempit antara kedua daratan itu, tergantung keseimbangan rapuh Asia Timur.
Setiap getaran politik di Selat Taiwan merambat seperti gelombang yang tidak terlihat, namun cukup kuat untuk menggoyahkan perhitungan strategis Tokyo. Jepang, yang memikul amanah perjanjian keamanan dengan Amerika Serikat, memandang Taiwan sebagai perisai pertama yang menahan kemungkinan ekspansi kekuatan militer China ke arah Pasifik Barat—benteng yang jika runtuh, akan mengubah ulang seluruh arsitektur keamanan kawasan.
Bagi China, Taiwan bukan sekadar wilayah yang terpisah, tetapi inti dari narasi kebangsaan, simpul yang dianggap harus kembali ke tubuh negaranya. Bagi Jepang, keberlanjutan Taiwan adalah fondasi stabilitas regional yang mencegah Asia Timur tenggelam ke dalam ketegangan baru. Dan bagi Amerika Serikat, Taiwan bukan hanya mitra demokratis, tetapi simpul kritis rantai suplai teknologi global—khususnya semikonduktor—serta instrumen untuk mempertahankan keseimbangan kekuatan di Indo-Pasifik.
Di tengah tiga kepentingan ini, Taiwan menjadi ruang hening yang diperebutkan oleh suara-suara keras kekuatan besar. Gema ketegangan itu tidak berhenti di belahan utara Asia. Ia merambat ke Asia Tenggara, melintasi angin dan jalur laut, memasuki koridor sempit Selat Malaka, Laut Sulu, hingga Laut Cina Selatan.
ASEAN, sebagai nadi ekonomi yang menyambungkan Pasifik dan Hindia, menjadi wilayah yang paling sensitif terhadap perubahan apa pun di Selat Taiwan. Sebagian besar perdagangan dunia, termasuk energi yang menjaga tetap hidupnya industri Jepang dan Korea Selatan, melewati jalur pelayaran ini.
Konflik terbuka di sekitar Taiwan tidak hanya akan memecah stabilitas politik, tetapi juga mengguncang tatanan logistik global, memutus aliran perdagangan, dan membuat dunia kembali menyadari betapa rentannya jaringan yang menopang kehidupan modern.
Di sinilah Pancasila berbicara dengan suara lembut namun tegas. Indonesia, sebagai bangsa maritim yang bergantung pada keterhubungan jalur pelayaran internasional, memahami bahwa stabilitas regional bukan sekadar kepentingan diplomatik, tetapi kebutuhan dasar untuk menjaga keutuhan nasional. Setiap riak konflik besar di utara berpotensi merembes ke perairan Asia Tenggara, memengaruhi keamanan laut, ekonomi nasional, hingga kesejahteraan masyarakat yang hidup dari arus perdagangan global.
Dalam lanskap inilah Indonesia harus mengambil peran: mencegah fragmentasi ASEAN, dan memastikan organisasi ini tetap satu tubuh dalam menghadapi gejolak kekuatan besar. Maka dinamika di sekitar Taiwan adalah pengingat bahwa dunia tidak bergerak dalam garis lurus; ia berdetak melalui jalinan kepentingan, sejarah, dan kerentanan manusia.
Indonesia, yang berdiri di persimpangan Indo-Pasifik, memiliki tugas moral dan geopolitik: menjaga perdamaian, mendorong dialog, dan memastikan Asia tetap menjadi tempat di mana perbedaan tidak memecah, tetapi justru mematangkan peradaban.
Mengikuti Arah Angin Geopolitik
Eskalasi antara China dan Jepang tidak berhenti pada ruang diplomasi yang penuh simbol dan gestur keras; ia merembes ke denyut ekonomi sehari-hari, menyentuh kehidupan masyarakat dengan cara yang sunyi namun signifikan. Ketika Beijing kembali menghentikan impor produk laut Jepang, arus wisata dari China merosot tajam, dan lebih dari lima ratus ribu tiket penerbangan menuju Jepang dibatalkan.
Dunia menyadari bahwa konflik geopolitik kini bukan lagi drama jauh di utara, melainkan angin liar yang mampu mengacaukan ritme pergerakan manusia, komoditas, dan harapan. Jepang, yang selama ini menjadi salah satu destinasi wisata paling dinamis di Asia, menanggung kerugian yang diperkirakan mencapai antara USD 500 juta hingga USD 1,2 miliar hanya dalam hitungan minggu.
Namun ekonomi tidak pernah mengenal ruang kosong; ketika satu pintu tertutup, pintu lain terkuak. Korea Selatan dan Singapura mengalami lonjakan tiba-tiba wisatawan China, sementara Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia menerima limpahan positif, meski masih bersifat moderat dan rapuh terhadap perubahan suhu politik antar dua raksasa Asia Timur itu.
Fenomena ini menegaskan bagaimana ekonomi modern selalu bergerak mengikuti arah angin geopolitik. Bagi ASEAN, dinamika ini adalah cermin besar yang memperlihatkan betapa mudahnya aliran wisata, logistik, investasi, dan sentimen bisnis berubah wajah dalam hitungan hari.
Asia Tenggara, yang selama ini menjadi ruang penyangga antara Pasifik dan Hindia, kembali diuji ketahanannya. Indonesia, sebagai pusat gravitasi kawasan, melihat peluang di tengah ketidakpastian: memperkuat konektivitas penerbangan, merancang paket wisata yang ramah bagi pasar China, hingga membangun diplomasi ekonomi yang menampilkan citra Indonesia sebagai “Destinasi Aman dan Stabil Indo-Pasifik Selatan”.
Tetapi setiap peluang selalu membawa bayang-bayang tanggung jawab. Dalam riak peluang jangka pendek itu, Pancasila menjadi kompas moral untuk memastikan Indonesia tidak sekadar menari di atas ketegangan negara lain. Keuntungan ekonomi tidak boleh tumbuh di atas penderitaan atau instabilitas tetangga; ia harus disokong oleh fondasi yang kokoh dan adil.
Industri pariwisata Indonesia bersamaan pula harus dibangun melalui diversifikasi pasar, penguatan infrastruktur, serta peningkatan kapasitas destinasi di daerah yang selama ini terpinggirkan—Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara—agar manfaat pembangunan tidak hanya mengalir ke pusat. Dinamika ini mengajarkan bahwa dunia bergerak bukan hanya oleh kekuatan besar yang saling berhadapan, tetapi juga oleh pilihan kecil yang diambil negara-negara yang ingin tetap berdiri tegak di tengah perubahan zaman.
ASEAN Memerlukan Stabilitas
ASEAN kini berdiri di persimpangan yang rumit, tempat kepentingan ekonomi, keamanan, dan geopolitik saling bersilangan seperti arus laut yang bertemu di tengah badai. Di satu sisi, negara-negara anggotanya menikmati kedekatan ekonomi dengan China dan Jepang—dua mesin utama pertumbuhan Asia. Namun di sisi lain, mereka sangat memerlukan stabilitas dan prinsip non-intervensi untuk menjaga otonomi masing-masing.
Eskalasi China–Jepang terbaru memperlihatkan garis-garis retak yang selama ini tersembunyi: negara-negara yang condong ke Jepang karena bantuan pembangunan, dan negara lain yang semakin terpaut pada investasi China melalui Belt and Road Initiative.
Di dalam tubuh ASEAN, kepentingan yang beragam itu mulai bergerak, seperti pulau-pulau kecil yang terdesak arus besar dari utara. Dalam pusaran itulah Pancasila memberi napas moral yang lembut namun menyentuh inti persoalan. Ia mengingatkan bahwa hubungan antarnegara tidak boleh kehilangan etika dasarnya—penghindaran kekerasan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan ikhtiar menjaga perdamaian.
Nilai-nilai ini tercermin dalam komitmen ASEAN terhadap Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) serta ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), yang menolak militerisasi dan menegaskan diplomasi sebagai jalan utama.
Di tengah dunia yang semakin cenderung memilih konfrontasi, Pancasila menawarkan kedalaman spiritual yang menuntun pada kebijaksanaan. Ketika kapal perang China bergerak di laut yang sama dengan pesawat Jepang yang melintas rendah di cakrawala, ASEAN dihadapkan pada ujian terpentingnya: mampukah ia tetap menjadi jangkar stabilitas di kawasan yang semakin bergolak?
Diplomasi preventif, mekanisme peringatan dini, dan dialog multilapis—antara pemerintah, pemikir strategis, akademisi, dan masyarakat sipil—harus diperkuat agar ketegangan tidak berubah menjadi konflik terbuka. ASEAN tidak boleh menunggu badai pecah; ia harus belajar membaca angin lebih awal, menguatkan simpul kerja sama, dan membangun kepercayaan di antara negara-negara anggota.
Maka Indonesia, dengan reputasinya sebagai mediator yang dihormati dan posisinya di jantung ASEAN, memegang peranan yang tidak tergantikan. Prinsip bebas aktif membuka ruang bagi Jakarta untuk menjadi jembatan komunikasi antara pihak-pihak yang berseteru, menawarkan jalur dialog yang tidak memihak namun sarat hikmah.
Indonesia bukan sekadar penenang ketegangan; ia adalah penjaga norma, memastikan bahwa masa depan kawasan tidak ditentukan oleh negara-negara besar yang memandang Asia Tenggara sebagai papan catur –melainkan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di dalamnya dan ingin hidup damai.
Di tengah gemuruh kapal perang dan retorika tajam kekuatan besar, ASEAN harus menemukan kembali makna kebersamaannya. Nilai yang paling mendasar bukanlah keberpihakan, tetapi kemampuan untuk menjadi ruang aman tempat perdamaian dapat tumbuh. Indonesia, dengan pijakan Pancasila, dapat menjadi nyala kecil yang menuntun kawasan keluar dari gelapnya ketegangan, lalu menuju terang masa depan—masa depan yang dibangun bukan oleh dominasi, tetapi oleh keadilan, dialog, dan kemanusiaan yang luhur.
Peranan Indonesia
Indonesia memiliki posisi strategis sebagai penentu keseimbangan yang tenang—silent balancer—di ruang yang menghubungkan Asia Timur dan Asia Tenggara. Posisi ini bukan hasil kebetulan geografis semata, tetapi buah dari rekam jejak diplomasi panjang yang konsisten memilih jalan moderasi daripada konfrontasi.
Dalam nafas Pancasila, kepemimpinan Indonesia bukanlah hegemoni, melainkan kepemimpinan kolektif yang tumbuh dari kebijaksanaan dan kesediaan mendengar. Di tengah rivalitas besar China–Jepang, Indonesia dipanggil untuk menjadi ruang tenang tempat dialog dapat bersemi, bukan medan di mana ketegangan dibiarkan berlarut. Peran ini mewujud dalam kemampuan Indonesia menjadi diplomat penjaga status quo damai.
Sebagaimana pernah ditunjukkan dalam proses perdamaian Kamboja (1987–1991) dan dalam merawat stabilitas isu Laut China Selatan, Jakarta memiliki tradisi panjang untuk memfasilitasi percakapan-percakapan sulit yang enggan dilakukan pihak lain.
Dalam dinamika terkini, Indonesia dapat kembali mendorong pertemuan informal China–Jepang, menawarkan ruang dialog di sela forum ASEAN, serta membuka Jakarta sebagai lokasi pertemuan track 1.5 yang lentur dan tidak mengancam. Tugas ini ibarat menempatkan sehelai anyaman halus di antara dua logam panas: sulit, tetapi sangat mungkin jika dilakukan dengan kesabaran dan kecermatan diplomatik.
Di saat dunia kembali dipenuhi narasi polarisasi, Indonesia juga harus memastikan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) tidak tenggelam oleh gelombang besar strategi negara-negara adidaya. Ketika Amerika Serikat dan Jepang mendorong Indo-Pacific Strategy, dan China memajukan Belt and Road Initiative, Indonesia perlu mengingatkan bahwa kawasan ini membutuhkan rumah geopolitik yang mempersatukan, bukan membelah.
Dengan logika Pancasila , AOIP adalah gagasan yang mengutamakan kesetaraan negara-negara besar dan kecil, demokratisasi keuntungan ekonomi, serta penolakan terhadap dominasi kekuatan tunggal. Dari sudut pandang ini, AOIP bukan hanya dokumen diplomatik, tetapi manifestasi etis tentang bagaimana Asia seharusnya ditata.
Di balik ketegangan regional, Indonesia juga melihat peluang ekonomi yang tidak dapat diabaikan. Peralihan wisatawan China dari Jepang memberi ruang bagi Indonesia untuk meningkatkan frekuensi penerbangan langsung Shanghai–Bali–Manado, menguatkan diplomasi pariwisata halal dan ramah keluarga, memberdayakan UMKM lokal, serta memperkuat Kawasan Ekonomi Khusus pariwisata.
Ketegangan China–Jepang mengingatkan dunia bahwa Asia Timur, adalah titik api strategis yang dapat menentukan arah masa depan Indo-Pasifik dan bahkan tatanan global. Bagi Indonesia, stabilitas kawasan bukan hanya isu geopolitik, tetapi sebuah tuntutan moral dan perwujudan identitas nasional.
Pancasila memberikan kerangka untuk membaca dinamika tersebut dengan kejernihan: menjunjung kemanusiaan, persatuan, keadilan, permusyawaratan, dan diplomasi damai. Di tengah lanskap yang semakin kompleks, Indonesia tidak boleh sekadar menjadi penonton; ia harus menjadi penentu arah, penengah yang dipercaya, dan penjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan sejak kemerdekaan.
Dengan demikian, krisis di Asia Timur bukan sekadar ancaman, tetapi kesempatan untuk menegaskan kembali peran Indonesia sebagai jangkar stabilitas kawasan.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
adalah DIRJEN SOSPOL DEPDAGRI RI 1999-2001 DAN GUBERNUR LEMHANNAS RI 2001-2005.
Mantan Gubernur Institut Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI) (2001–2005)
