Pancasila Sebagai Kompas Penanganan Bencana Alam Untuk Indonesia Raya
Baru-baru ini Indonesia mengalami bencana banjir longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dari bencana itu, di Aceh korban meninggal dunia mencapai 391 jiwa, dan 31 orang dilaporkan hilang. Sumatera Utara mencatat 1,6 juta warga terdampak, dengan 339 orang meninggal dunia dan 107 hilang. Sementara di Sumatera Barat, 256.681 jiwa terdampak, dengan 235 korban meninggal dan 93 warga hilang. Kemudian kerugian ekonomi, Center of Economic and Law Studies (Celios) menghitung dampak ekonomi nasional mencapai Rp 68,67 triliun.
Indonesia pada tahun 2025 ini dicekam bencana alam, seperti mengalami musim panjang ketika alam berbicara dengan suara yang tak mudah diabaikan. Hujan turun hari-hari ini pun seakan mengandung beban moral — seakan menguji sejauh mana bangsa ini mampu menjaga keseimbangan antara pembangunan dan penghormatan terhadap ruang hidupnya sendiri. Angin yang mengitari pesisir dan pegunungan membawa pesan yang lebih dari sekadar perubahan cuaca; ia mengingatkan bahwa relasi manusia dengan alam adalah relasi etis, bukan sekadar mekanis.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberikan catatan bahwa hampir 2.919 kejadian bencana antara Januari–24 November 2025, mayoritas berupa hidro¬meteorologi, sementara banjir dan longsor di Sumatera mengungsikan ribuan warga, dan erupsi Semeru kembali mengguncang kehidupan masyarakat lereng. Semua ini berlangsung ketika indeks risiko global kembali menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling rentan.
Dalam kenyataan yang berulang ini, Pancasila menemukan relevansi terdalamnya: sebagai landasan kebijaksanaan ekologis, kesadaran kemanusiaan, dan tuntunan untuk tidak memisahkan keselamatan manusia dari keutuhan bentang alam yang menopangnya. Maka di tengah kepungan bencana itu, menjadi jelas bahwa manajemen risiko tidak bisa hanya dibangun atas kecepatan respons atau kecanggihan alat. Ia membutuhkan kompas nilai yang menuntun bangsa untuk memandang bencana sebagai peristiwa moral, bukan sekadar teknis.
Ketika ribuan warga mengungsi, ketika sungai meluap menghapus jejak rumah tangga, ketika gunung mengirimkan awan panas, negara dipanggil bukan hanya untuk bertindak cepat, tetapi untuk bertindak dengan rasa keadilan, empati, dan kesadaran akan persaudaraan kebangsaan. Pancasila, dalam kedudukannya sebagai dasar etik kehidupan bersama, menuntut agar setiap kebijakan kebencanaan lahir dari penghargaan terhadap martabat manusia, semangat kebersamaan, dan tanggung jawab terhadap sesama warga.
Di sini nilai menjadi infrastruktur tak kasat mata yang sama pentingnya dengan tanggul, peta risiko, atau sistem peringatan dini. Ia menuntun negara agar tidak hanya menyelamatkan tubuh manusia, tetapi juga menenangkan batin mereka dan memastikan bahwa bencana tidak semakin mempertajam garis keterbelahan sosial. Jika kita menelaah rentetan peristiwa sepanjang tahun, terlihat bahwa kerusakan tidak semata disebabkan oleh fenomena alam, tetapi juga keputusan kolektif yang membuka ruang bagi kerentanan.
Deforestasi di hulu DAS, ekspansi permukiman di zona rawan, tata kota yang menyingkirkan ruang resapan, lemahnya sistem peringatan dini, hingga kapasitas BPBD yang tidak merata — semuanya membentuk pola yang menunjukkan bahwa risiko bukan hanya sesuatu yang datang dari luar, tetapi juga sesuatu yang diciptakan. Inilah cermin yang menunjukkan betapa tata kelola kebencanaan tidak bisa dipahami tanpa landasan etika publik.
Pancasila menggarisbawahi bahwa keselamatan adalah hak, bukan keberuntungan; bahwa keadilan bukan pilihan tam¬bahan, tetapi inti dari ketahanan nasional; bahwa kebersamaan tidak berhenti pada solidaritas spontan, tetapi harus terwujud dalam sistem yang melindungi yang paling rentan. Maka integrasi nilai ke dalam kebijakan harus menembus perencanaan pembangunan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Perda, maupun dokumen teknis, maka indikator keadilan sosial, partisipasi warga, transparansi anggaran, dan tata ruang yang berkelanjutan harus menjadi syarat pendanaan mitigasi. Pendekatan terhadap bencana tidak bisa lagi berpusat pada hilir, pada saat air telah meninggi atau tanah telah bergerak. Mitigasi hulu reforestasi, restorasi ekosistem, normalisasi fungsi hidrologis—adalah bentuk tanggung jawab negara terhadap generasi yang hidup hari ini maupun esok. Keberpihakan fiskal terhadap ekologi hulu bukan sekadar program teknis, tetapi pernyataan moral bahwa keselamatan manusia dan keberlanjutan alam tidak boleh dipisahkan.
Dari itu, Pancasila– dalam makna filosofisnya—menuntut kebersamaan operasio¬nal: bahwa negara harus hadir sebagai tubuh yang bergerak serempak meski terdiri dari banyak organ. Sehingga kebijakan dari atas tidak akan efektif tanpa kekuatan dari bawah. Komunitas lokal harus dijadikan ujung tombak pertama yang membaca tanda bahaya: aliran air yang berubah warna, suara gunung yang berbeda, perilaku fauna yang tidak biasa.
Pengetahuan lokal ini adalah modal sosial yang harus dihormati. Karena itu, program kesiapsiagaan berbasis komunitas — pelatihan SAR lokal, peta risiko partisipatif, peringatan dini dalam bahasa daerah — tidak boleh dianggap sebagai sekadar upaya pemberdayaan, tetapi sebagai pilar keselamatan nasional.
Nilai-nilai Pancasila hidup dalam ruang seperti itu, ketika warga dilibatkan bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek kebijakan. Maka bersamaan pula transparansi dan akuntabilitas pun menjadi -tanggung jawab moral. Distribusi bantuan harus dibentengi dari kepentingan politik. Keterlibatan DPRD, organisasi masyarakat, dan media independen harus memastikan bahwa bantuan tiba di tempat yang paling membutuhkan.
Pancasila mengajarkan bahwa bencana tidak boleh menjadi panggung untuk perebutan simbolik kekuasaan; penderitaan manusia tidak boleh diolah menjadi komoditas politik. Maka Pancasila menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh protokol teknis: alasan moral untuk melindungi manusia. Ia membantu bangsa ini memahami bahwa bencana bukan hanya soal selamat atau tidak selamat, tetapi soal apakah negara benar-benar hadir sebagai pelindung.
Pancasila menjadi kompas yang menjaga bangsa ini agar tetap berjalan dalam arah yang benar — agar pembenahan sistem tidak kehilangan jiwa, agar pemulihan tidak kehilangan rasa keadilan. Dan, agar Indonesia Raya, meski diterpa musim bencana yang berat, tidak kehilangan cahaya dalam perjalanan panjangnya menuju masa depan yang lebih kokoh, adil, dan manusiawi.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, REKTOR IPDN 2015-2018, DIRJEN SOSPOL - DEPDAGRI RI 1999-2001, DAN GUBERNUR LEMHANNAS RI 2001-2005.
