Asta Cita Dan Semangat Kebangsaan Pasca-Lebaran: Membangun Pemerintahan Bersih

Momentum Idul Fitri tidak hanya menjadi perayaan keagamaan umat Islam, tetapi juga tonggak budaya bangsa yang menyimbolkan kembalinya manusia kepada kesucian, keikhlasan, dan semangat mempererat persaudaraan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Lebaran pasca-Ramadan menawarkan refleksi kolektif yang sangat relevan bagi seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintahan.

Di tengah suasana saling memaafkan dan memperbaharui niat, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah menegaskan komitmennya melalui delapan misi strategis yang dikenal sebagai Asta Cita, sebagai landasan untuk mewujudkan visi besar “Bersama Menuju Indonesia Emas 2045.” Visi ini ber¬padu selaras dengan semangat pasca-Lebaran: memperkuat nilai-nilai moral, menumbuhkan toleransi, dan merawat kebhinekaan demi Indonesia yang lebih bersih dan maju.

Asta Cita merupakan kerangka kerja strategis yang mengandung semangat transformatif untuk membawa Indonesia menjadi negara maju pada usia 100 tahun kemerdekaannya. Di tengah suasana pasca-Lebaran, ketika masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang etnis dan agama saling ber¬silaturahmi, semangat Bhinneka Tunggal Ika terasa sangat nyata dan hidup.

Inilah momen penting untuk meneguhkan kembali komitmen kolektif bangsa terhadap pembangunan yang inklusif, berkeadilan, dan berakar pada nilai-nilai luhur Pancasila. Pemerintah pun menempatkan aspek moralitas dan integritas sebagai fondasi utama dalam pelaksanaan Asta Cita, dengan mengutamakan reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta pemberantasan korupsi secara menyeluruh.

Dalam konteks ini, semangat Lebaran yang sarat dengan makna kesucian dan pembaruan diri menjadi sangat relevan bagi pemerintah yang tengah mengusung agenda besar reformasi tata kelola negara. Pemerintahan yang bersih tidak bisa dibangun hanya melalui instrumen hukum dan kebijakan teknokratis semata, tetapi juga harus ditopang oleh etika publik dan komitmen moral yang kuat dari para pemimpin dan aparatur negara. Reformasi birokrasi yang diusung dalam Asta Cita harus menyentuh pada substansi, yakni mewujudkan aparatur sipil negara yang berorientasi pada pelayanan, bebas dari konflik kepentingan, dan memiliki integritas tinggi.

Di situlah momentum pasca-Lebaran memberi pesan mendalam: membersihkan diri dari praktik kotor adalah prasyarat untuk membangun negara yang bersih. Maka lebih jauh, Asta Cita tidak hanya menjadi rencana di atas kertas, tetapi telah mulai diimplementasikan oleh berbagai kementerian dan lembaga dalam bentuk program-program strategis.

Pemerintah berupaya membangun sistem birokrasi yang responsif terhadap kebutuhan rakyat, hukum yang adil dan dapat diakses semua kalangan, serta sistem politik yang partisipatif dan bebas dari politik transaksional. Untuk itu, nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan pasca-Lebaran harus dijadikan pedoman dalam setiap proses pengambilan keputusan publik.

Indonesia sebagai negara plural memerlukan kebijakan yang tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga sensitif terhadap keragaman sosial dan budaya. Dari itu implementasi Asta Cita dalam suasana pasca-Lebaran juga harus memperkuat narasi persatuan nasional. Visi Indonesia Emas 2045 mensyaratkan adanya ¬solidaritas kebangsaan yang kokoh. Pembangunan tidak boleh terfragmentasi oleh identitas sektarian atau kepentingan sempit.

Pemerintah juga harus menanamkan nilai-nilai toleransi dan hidup bersama dalam perencanaan pembangunan, termasuk dalam sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur. Misalnya, pemberdayaan ekonomi kerakyatan di berbagai daerah harus mempertimbangkan karakteristik lokal dan keadilan sosial, bukan semata logika pasar. Dengan demikian, pembangunan menjadi alat untuk memperkuat kohesi sosial dan memperkecil kesenjangan antardaerah.

Makanya visi besar tidak akan berjalan tanpa pengawasan dan keterlibatan aktif masyarakat. Pemerintahan Prabowo-Gibran harus membangun kemitraan dengan publik dalam bentuk transparansi, akuntabilitas, dan pelibatan masyarakat sipil dalam evaluasi kebijakan. Asta Cita akan kehilangan makna jika tidak dijalankan secara partisipatif dan berkelanjutan. Semangat gotong royong yang diperkuat saat Ramadan dan Lebaran harus dibawa ke ruang-ruang kebijakan publik. Kesadaran bahwa negara dibangun oleh dan untuk rakyat menjadi sangat penting untuk menghindari alienasi antara penguasa dan masyarakat. Oleh karena itu, pelibatan komunitas lokal, ormas, dan tokoh agama sangat krusial dalam menyukseskan agenda pembangunan.

Dalam kerangka geopolitik dan tantangan global yang semakin kompleks, Indonesia juga dituntut untuk memainkan peran sebagai kekuatan moral dan diplomatik di kawasan. Nilai-nilai toleransi, kesucian, dan penghormatan terhadap perbedaan yang diwarisi dari budaya Lebaran dapat menjadi soft power Indonesia dalam membangun hubungan internasional yang damai dan adil.

Dalam semangat kesucian pasca-Ramadan, kita diajak untuk tidak hanya menuntut perubahan dari pemerintah, tetapi juga dari diri sendiri sebagai warga negara. Membangun Indonesia tidak bisa hanya dilakukan oleh negara, tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Dengan berpegang pada nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh tradisi dan agama, serta semangat Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih adil, makmur, dan beradab.

Prof. Dr. Drs, Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005)

id_IDIndonesian