Pertemuan antara Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Prof. Dr (HC). Hj. Megawati Soekarnoputri, pada 7 April 2025, bukan sekadar pertemuan politik biasa, melainkan menjadi simbol penting dalam perjalanan bangsa Indonesia untuk memperkuat komitmen terhadap persatuan nasional dan ideologi Pancasila.
Silaturahmi yang berlangsung di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, ini mengandung makna simbolik yang dalam di tengah kontestasi politik pasca Pemilu 2024. -Momentum tersebut memperlihatkan bagaimana dua tokoh besar nasional, yang masing-masing mewakili kekuatan politik historis dan kontemporer, mampu mengedepankan kepentingan bangsa di atas dinamika elektoral serta menyatakan komitmen bersama dalam menghadapi tantangan strategis nasional dan global.
Sejarah hubungan politik antara Prabowo dan Megawati, memang, diwarnai oleh dinamika pasang surut. Keduanya pernah berada dalam satu barisan politik pada Pilpres 2009, namun perbedaan strategi dan kepentingan membawa mereka pada jalur yang berbeda dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun demikian, pertemuan yang telah lama direncanakan ini menandakan bahwa politik Indonesia memiliki tradisi rekonsiliasi yang kuatrekonsiliasi yang tidak dibangun dari kompromi sempit kekuasaan, tetapi berdasarkan pada nilai-nilai kebangsaan yang lebih luas.
Dr. (HC). Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI menyatakan bahwa pertemuan tersebut bukan yang terakhir, dan ke depan akan ada silaturahmi lanjutan. Dengan begitu ini mengindikasikan terbukanya saluran komunikasi yang produktif antara dua poros kekuatan besar dalam politik nasional.
Lebih dari sekadar silaturahmi Idul Fitri, pertemuan tersebut merefleksikan persamaan visi antara Prabowo dan Megawati terkait arah pembangunan bangsa ke depan. Kedua tokoh bangsa ini menekankan pentingnya kolaborasi dan sinergi dalam membangun Indonesia yang lebih kuat.
Pernyataan Megawati yang mendukung pemerintahan Kabinet Merah Putih meskipun PDIP tetap berada di luar pemerintahan, adalah bentuk sikap kenegarawanan yang matang. Sikap ini juga mencerminkan model “constructive opposition” yang sangat dibutuhkan dalam demokrasi Indonesia, yakni oposisi yang kritis namun tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebangsaan dan Pancasila.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa baik Prabowo maupun Megawati, sama-sama menempatkan Panca sila sebagai dasar pijakan dalam menghadapi tantangan kontemporer. Pancasila bukan hanya menjadi simbol ideologis, melainkan kerangka kerja stra¬tegis dalam menjawab persoalan kebangsaan dan geopolitik. Komitmen terhadap persatuan, keadilan sosial, dan kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi nilai-nilai utama yang sangat mungkin diusung dalam dialog empat mata tersebut.
Di tengah polarisasi global akibat rivalitas Amerika Serikat dan China, konflik Rusia-Ukraina, ketegangan di Laut China Selatan, maka Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang mampu menjaga posisi strategis secara otonom, mandiri, dan berbasis pada diplomasi damai. Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih memahami betul, bahwa kekuatan Indonesia bukan hanya ditentukan oleh kapabilitas militer atau ekonomi, tetapi juga oleh ketahanan ideologis dan kesatuan nasional.
Maka dari itu, membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh sentral seperti Prof. Dr (HC). Hj. Megawati Soekarnoputri bukan semata demi legitimasi politik, tetapi juga demi membangun basis moral dan ideologis yang kuat untuk menopang pemerintahan ke depan.
Sementara itu, Prof. Dr (HC). Hj. Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-5 RI dan pewaris langsung warisan pemikiran Bung Karno, memiliki peran sentral dalam menjaga narasi ideologi bangsa agar tidak tergerus oleh pragmatisme politik sesaat. Pertemuan antara keduanya menjadi jembatan antara generasi lama dan baru dalam kepemimpinan nasional, yang berorientasi pada kesinambungan nilai dan kepentingan nasional jangka panjang.
Sementara itu dalam kerangka geopolitik, Indonesia berada dalam posisi yang khas sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, dengan komitmen nonblok yang kuat. Dalam menghadapi tekanan global dan regional, Indonesia harus mampu memainkan peran sebagai stabilisator kawasan, serta menjadi suara moral bagi perdamaian dan keadilan internasional.
Kolaborasi Prabowo dan Megawati, dalam menjaga komunikasi strategis ini, memberi sinyal positif bahwa Indonesia tidak akan terpecah oleh konflik internal tetapi justru bersatu untuk tampil sebagai aktor pen¬ting dalam percaturan global.
Penting juga untuk dicatat bahwa meskipun PDIP memilih untuk berada di luar pemerintahan secara struktural, namun dukungan terhadap agenda-agenda strategis nasional tetap diberikan. Sikap ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia semakin matang, di mana oposisi tidak serta-merta menjadi antagonis, tetapi dapat berfungsi sebagai mitra kritis yang turut menjaga jalannya pemerintahan secara seimbang.
Dengan latar belakang tersebut, pertemuan Presiden RI ke 8 dan Presiden RI ke 5 ini harus dilihat sebagai investasi politik jangka panjang yang berorientasi pada stabilitas nasional. Peristiwa ini bukan hanya membangun rasa percaya antara dua kekuatan politik, tetapi juga memberikan harapan kepada rakyat bahwa elite politik Indonesia mampu meredakan ketegangan dan menciptakan ruang dialog, bahkan setelah kompetisi politik yang keras.
Begitulah wajah demokrasi Indonesia yang resilien dan inklusif sebuah demokrasi yang tidak terjebak pada kalkulasi kekuasaan, tetapi justru mengedepankan nilai-nilai luhur kebangsaan. Maka dalam menghadapi abad ke-21 yang penuh ketidakpastian, Indonesia semakin memperteguhkan soliditas nasional yang tidak dibangun di atas fondasi rapuh, tetapi atas dasar nilai-nilai Pancasila dan prinsip persatuan.
Pertemuan antara Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Prof. Dr (HC). Hj. Megawati Soekarnoputri menjadi cermin bahwa bangsa ini masih memiliki harapan untuk tetap bersatu, bahkan dalam perbedaan. Komitmen keduanya untuk menjaga komunikasi dan koordinasi demi kepentingan strategis nasional menunjukkan, bahwa semangat gotong royong sebagai inti dari Pancasila masih hidup dalam praktik politik kontemporer.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Kini menjabat Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).