Commemorating National Awakening: Geopolitics Shift, Indonesia's Chance to Advance

Dalam pusaran dunia yang tengah mengalami pergolakan geopolitik dan pergeseran tata ekonomi global, Indonesia tidak cukup hanya menjadi penonton pasif. Pemimpin besar Bung Karno telah menanamkan spirit nasionalisme yang kuat berkedaulatan bangsa, sebagai fondasi utama dalam menghadapi dinamika global. Kepemimpinan Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar simbol, melainkan sumber kekuatan moral dan strategis yang menjadi landasan perjuangan bangsa dalam menentukan arah politik dan ekonomi.
Melalui visi Bung Karno, Indonesia dituntut untuk aktif mengambil peran sebagai subjek sejarah yang menentukan nasibnya sendiri, bukan sebagai objek dalam permainan kekuatan dunia. Kemudian sewaktu kepemimpinan Presiden Prof. Dr. (HC) Hj. Megawati Soekarnoputri, menguatkan pula pijakan tersebut dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam tata kelola pemerintahan yang adaptif dan inklusif, menjaga stabilitas nasional di tengah tantangan global yang kian kompleks.
Kini, di era Presiden Prabowo Subianto, Indonesia memasuki babak baru dengan kepemimpinan visioner yang menegaskan pentingnya transformasi strategis dan modernisasi, berlandaskan Pancasila sebagai kompas moral dan strategis. Presiden Prabowo Subianto mengajak bangsa ini untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga memimpin dalam tatanan dunia baru dengan prinsip berdaulat, adil, dan bermartabat, baik dalam konteks domestik maupun internasional.
Lantas dalam momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei) dan menjelang Hari Lahir Pancasila (1 Juni), menjadi saat yang tepat untuk merenungkan ulang makna Pancasila dalam relasi kekuatan dunia dan dinamika ekonomi global. Maka sarasehan yang digelar oleh Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI), bekerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, karuan saja menjadi ajakan untuk menjadikan Pancasila sebagai daya penggerak dalam menafsir ulang posisi Indonesia di panggung dunia—bukan hanya sebagai negara berkembang yang ikut arus, tetapi sebagai bangsa yang berdaulat menentukan arah peradabannya sendiri.
Perubahan geopolitik global ditandai oleh meningkatnya rivalitas antara kekuatan besar, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia. Persaingan ini bukan hanya terjadi di medan militer, tetapi merambah ke ranah teknologi, pengaruh budaya, perdagangan, hingga tata kelola lembaga multilateral. Di tengah turbulensi ini, negara-negara dengan fondasi ideologi yang kuat memiliki peluang untuk tampil sebagai jangkar stabilitas.
Bagi Indonesia, Pancasila bukan sekadar ideologi nasional, tetapi juga tawaran nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, keadilan, dan persatuan yang sangat relevan dalam membangun tatanan dunia yang damai dan adil. Dari sini Pancasila memungkinkan Indonesia menempuh jalur geopolitik yang tidak dogmatis, tetapi berdasarkan keseimbangan dan dialog. Dalam konteks Asia Tenggara dan Indo-Pasifik, posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, demokrasi terbesar ketiga dunia, dan anggota aktif ASEAN memberikan legitimasi strategis.
Sementara itu, pada tataran geoekonomi, dunia tengah bergerak ke arah disrupsi rantai pasok, tekanan inflasi, dan transformasi energi. Dalam situasi ini, Indonesia harus cerdas membaca peluang dan menolak jebakan ketergantungan. Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengharuskan negara untuk membangun kemandirian ekonomi, distribusi hasil pembangunan yang adil, serta penguatan sektor strategis seperti energi, pangan, dan industri manufaktur. Pancasila menjadi fondasi dalam menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan prinsip keberpihakan terhadap rakyat.
Kekuatan ideologis Pancasila juga dapat menjadi soft power Indonesia di dunia internasional. Dalam arus globalisasi yang sering kali menggerus identitas bangsa dan menyeragamkan nilai-nilai, Pancasila berdiri sebagai pengingat bahwa global tidak harus mengorbankan lokal. Justru dalam keberagaman dan pluralitas, Indonesia dapat menawarkan contoh hidup bagaimana perbedaan bisa dikelola dalam satu bingkai kebangsaan.
Dengan begitu semakin jelas bahwa Indonesia Raya yang dimaksud dalam tema sarasehan tersebut, bukan hanya sebuah gagasan geografis atau impian kemajuan material, tetapi visi tentang masa depan bangsa yang merdeka dalam berpikir, adil dalam bertindak, dan arif dalam menyikapi perubahan zaman. Jadi, peluang menuju Indonesia Raya terbuka lebar jika bangsa ini mampu membumikan Pancasila dalam kebijakan publik, pendidikan, teknologi, dan diplomasi.
Di sinilah diperlukan kepemimpinan yang tidak hanya visioner, tetapi juga berakar pada nilai-nilai luhur bangsa. Kepemimpinan yang mampu menerjemahkan Pancasila menjadi kekuatan pembangun masa depan, bukan nostalgia masa lalu. Kepemimpinan yang menjadikan geopolitik bukan medan ketakutan, tetapi ruang memperluas pengaruh berdasarkan etika dan kemanusiaan.
Dalam menghadapi tekanan global, Indonesia juga perlu memperkuat sistem pertahanannya, bukan dalam artian agresif, melainkan defensif strategis. Konsep pertahanan semesta sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945 menunjukkan bahwa kekuatan sejati sebuah negara tidak hanya terletak pada persenjataan, tetapi pada ketahanan ideologi, ekonomi, dan sosial budayanya. Ketika rakyat merasa memiliki dan percaya pada ideologi negaranya, maka tak ada kekuatan eksternal yang bisa menggoyahkan fondasi bangsa.
Jelaslah tantangan besar abad ke-21 bukan hanya tentang siapa yang paling kuat atau paling kaya, tetapi siapa yang paling mampu menjaga nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian. Di sinilah Pancasila menemukan relevansi dan kekuatannya. Ia tidak sekadar milik Indonesia, tetapi warisan yang dapat menginspirasi dunia. Maka dari itu, perubahan geopolitik dunia bukan untuk ditakuti, melainkan dibaca sebagai peluang untuk menghadirkan Indonesia yang besar, bermartabat, dan berdaya saing tinggi—Geopolitik Indonesia Raya yang berakar pada Pancasila.
Prof. Dr. Drs. Ermaya Suradinata, S.H., M.H., M.Si. adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri RI (1998-2000). Kini menjabat Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI), Ketua TIM Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI.