Pertemuan Prabowo Dan Megawati: Simbol Rekonsiliasi Nasional Dan Aktualisasi Pancasila

Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Megawati Soekarnoputri, dalam peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2025, di Gedung Pancasila, Jakarta, bukanlah sekadar seremoni kenegaraan yang berlangsung rutin setiap tahun. Momen ini justru menjadi simbol penting dalam dinamika politik nasional, mencerminkan bertemunya dua kekuatan besar dalam sejarah modern Indonesia yang mengedepankan kepentingan nasional di atas perbedaan kepartaian.
Dalam suasana yang sarat dengan simbolisme kebangsaan, peristiwa ini memperlihatkan bahwa semangat Pancasila tidak hanya diperingati secara formal, tetapi juga dihidupkan secara nyata oleh para pemimpin bangsa. Dalam lanskap politik Indonesia yang kerap ter-polarisasi oleh rivalitas elektoral, kehadiran Presiden ke-8 RI (Prabowo Subianto) dan Presiden ke-5 RI (Megawati Soekarnoputri) dalam satu panggung kenegaraan menjadi simbol penting dari rekonsiliasi nasional.
Megawati Soekarnoputri, sebagai pewaris ideologis Bung Karno, dan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan, menampilkan komitmen bersama untuk mempertahankan Pancasila sebagai fondasi dalam setiap kebijakan strategis bangsa. Di tengah meningkatnya pragmatisme politik dan polarisasi sosial, keduanya memberikan pesan kuat bahwa ideologi bukanlah sekadar simbol retoris, melainkan fondasi utama dalam membangun sistem pemerintahan yang adil, beradab, dan berdaulat.
Momen pertemuan Presiden ke-8 RI dan Presiden ke-5 RI ini juga meneguhkan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan nasional dalam menghadapi tantangan global dan domestik. Di era disrupsi informasi masa kini, ketidakpastian ekonomi, dan pergeseran geopolitik, tentulah stabilitas nasional menjadi kebutuhan mutlak. Pertemuan Prabowo dan Megawati menunjukkan keteladanan elite yang sadar bahwa kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya menjaga integrasi sosial-politik melalui semangat gotong -royong dan toleransi yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila.
Megawati Soekarnoputri’s presence at the state event, as well as President Prabowo’s respectful mention of her in his speech, underscored that relationships among leaders can transcend immediate political calculations. This gesture of mutual respect serves as an important sign for the people that politics is not just about electoral victories or defeats but also about building a democratic civilization that is healthy and civilized.
Kehadiran Megawati Soekarnoputri dalam acara kenegaraan ini, serta penyebutan penuh hormat oleh Presiden Prabowo dalam pidatonya, menegaskan bahwa hubungan antar-pemimpin dapat melampaui kalkulasi politik sesaat. Gestur saling menghormati tersebut menjadi penanda penting bagi rakyat, bahwa politik bukan semata soal kemenangan atau kekalahan elektoral, melainkan juga tentang membangun peradaban demokrasi yang sehat dan beradab.
Keteladanan seperti ini penting untuk meredam polarisasi politik, dengan menunjukkan bahwa para pemimpin bangsa memiliki kematangan emosional dan visi jangka panjang untuk kemajuan bersama. Dari perspektif publik, hal ini berpotensi memperkuat kepercayaan terhadap institusi politik nasional. Masyarakat membutuhkan contoh konkret dari elite yang mampu bersinergi, bukan saling berkonfrontasi. Maka rekonsiliasi yang diperlihatkan oleh Prabowo dan Megawati tidak hanya bersifat simbolik, tetapi mengandung pesan historis yang mendalam.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, komunikasi antar elite dengan latar belakang berbeda telah terbukti menjadi sarana efektif untuk menjaga stabilitas nasional. Baik di era Sukarno maupun pasca Reformasi, silaturahmi politik antar pemimpin menjadi pilar penting dari ketahanan negara. Dalam konteks ini, Prabowo dan Megawati sedang melanjutkan tradisi kenegarawanan yang menempatkan kepentingan nasional di atas ego sektoral.
Megawati Soekarnoputri, yang dianugerahi 12 gelar doktor kehormatan dan gelar profesor dari berbagai universitas nasional dan internasional, menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, terus menekankan nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan publik. Di sisi lain, Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya sekedar simbol seremonial, namun harus diaktualisasikan sebagai ideologi yang bekerja.
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya persatuan nasional sebagai kunci untuk menghadapi tantangan global yang kompleks. Ia menolak menjadikan Pancasila sebagai retorika kosong, dan sebaliknya mengangkatnya sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan strategis negara. Pernyataan ini menyiratkan arah kepemimpinan nasional ke depan yang berpijak pada prinsip-prinsip keadilan sosial, musyawarah mufakat, dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sementara itu, Megawati Soekarnoputri meneguhkan bahwa Pancasila adalah titik temu berbagai kekuatan politik dan identitas sosial di Indonesia. Perannya di BPIP memperlihatkan bahwa pembinaan ideologi negara tak terpisahkan dari dinamika dan proses politik nasional.
Oleh karena itu, pertemuan antara Prabowo dan Megawati tidak bisa hanya dipahami dalam kacamata politis sempit. Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, peristiwa ini mengandung pesan bahwa hanya melalui persatuan dan kesatuan nasional, Indonesia mampu menjawab tantangan zaman. Persatuan dalam hal ini bukan berarti menyeragamkan perbedaan, melainkan menjaga komitmen bersama untuk tetap bersama dalam keberagaman. Nilai ini sejalan dengan sila ketiga Pancasila: Persatuan ¬Indonesia.
Dengan demikian, pertemuan Prabowo dan Megawati tidak hanya mencerminkan rekonsiliasi pasca-pemilu, melainkan juga menegaskan kembali bahwa NKRI dibangun dan dipertahankan melalui semangat persatuan. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik, kekuatan Indonesia justru terletak pada kemampuannya menjaga kesatuan dalam perbedaan.
Semangat inilah yang harus terus dijaga agar pembangunan nasional dapat berlangsung dalam suasana damai, stabil, dan berkeadilan.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Dewan Pakar BPIP RI dan Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).