Bulan Bung Karno: Momentum Meneguhkan Trisakti Dan Gotong Royong

Bulan Juni yang dikenal sebagai “Bulan Bung Karno” mengandung makna historis dan ideologis yang sangat dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tiga momen utama — lahirnya Pancasila pada 1 Juni, kelahiran Bung Karno pada 6 Juni, dan wafatnya beliau pada 21 Juni — membentuk rangkaian simbolik yang merepresentasi¬kan perjalanan gagasan dan perjuangan Ir. Soekarno sebagai proklamator, pemikir bangsa, dan pemimpin revolusi.
Dalam kerangka biografis, ketiga momen ini menunjukkan kesinambungan antara pemikiran Ir. Soekarno dengan pembentukan dasar negara dan orientasi pembangunan bangsa. Pancasila yang lahir dari pemikiran Bung Karno, adalah fondasi moral dan politik yang mempersatukan keragaman dalam sistem pemerintahan yang inklusif. Ketika Bung Karno menyatakan bahwa “Negara Indonesia bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, tetapi milik kita semua,” ia sedang membangun semangat egalitarianisme yang dapat diterjemahkan dalam model tata kelola pemerintahan yang partisipatif.
Pancasila memberi kerangka nilai bagi penyelenggara negara dari pusat hingga daerah, termasuk pemerintahan desa, untuk menjalankan tugasnya dengan prinsip keadilan sosial, persatuan, dan kedaulatan rakyat. Dalam konteks otonomi daerah, nilai-nilai Pancasila menjadi alat pemersatu sekaligus panduan moral agar kebijakan di tingkat lokal tetap sinkron dengan arah pembangunan nasional yang berlandaskan semangat gotong royong .
Nilai-nilai Pancasila, apabila dijalankan secara konsisten, memungkinkan terbentuknya pemerintahan yang solidyakni pemerintahan yang terkoordinasi, tidak terpecah oleh kepentingan sektoral, dan bekerja atas dasar nilai-nilai universal bangsa. Di sinilah Panca-sila sebagai dasar dan ideologi negara dapat memainkan peran sebagai platform pemersatu antartingkat pemerintahan dan masyarakat.
Jika birokrasi pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa menjadikan Pancasila sebagai prinsip operasional dalam pe¬rencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan, maka sistem pemerintahan akan terbangun di atas landasan nilai yang kokoh, bukan sekadar instruksi teknokratis. Maka dalam kerangka pembangunan, konsep Trisakti berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya — menawarkan orientasi yang utuh dalam merumuskan kebijakan dari pusat sampai ke desa.
Dari premise tersebut antara lain terhadap kemandirian desa dalam pengelolaan Dana Desa yang semestinya mencerminkan prinsip berdikari dalam ekonomi, di mana desa bukan lagi sekadar objek pembangunan, melainkan subjek yang aktif menentukan arah pembangunannya. Pemerintah daerah dan desa harus menjadikan nilai-nilai Trisakti sebagai instrumen penentu dalam pengambilan keputusan, perencanaan pembangunan, dan penguatan kapasitas sosial ekonomi masyarakat setempat.
Berdaulat dalam politik berarti bahwa kebijakan nasional maupun lokal harus bebas dari tekanan atau dominasi asing, sekaligus memperkuat sistem demokrasi partisipatif. Dalam konteks ini, desa memegang posisi strategis sebagai titik awal pendidikan politik warga negara. Pembangunan kapasitas pemerintahan desa yang transparan, akuntabel, dan responsif merupakan bentuk praksis dari kedaulatan politik rakyat.
Sementara itu, prinsip berdikari dalam ekonomi menuntut agar desa memiliki daya tahan ekonomi melalui penguatan potensi lokal, seperti pertanian, kerajinan, pariwisata berbasis budaya, dan sistem ekonomi koperasi. Kedaulatan pangan dan energi di tingkat desa menjadi indikator penting dari implementasi Trisakti dalam ruang hidup yang konkret. Sedangkan kepribadian dalam budaya mengharuskan pemerintah desa hingga pusat tidak semata-mata mengikuti arus budaya global, melainkan tetap menjunjung tinggi kearifan lokal dan karakter kebangsaan Indonesia.
Gotong royong, sebagai nilai utama yang dihidupkan oleh Bung Karno adalah dari akar tradisi Nusantara, menjadi kunci penghubung antara kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Dalam konteks pembangunan nasional yang berjenjang dari desa ke pusat, gotong royong harus dipahami bukan hanya sebagai kerja sama fisik, tetapi sebagai semangat kolektif dalam menyusun visi pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Ketika program-program nasional seperti pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, atau pengembangan UMKM dijalankan dengan melibatkan masyarakat desa secara aktif, maka di sanalah ajaran Bung Karno tentang “revolusi mental” dan “membangun dari bawah” menjadi nyata. Pemerintah pusat harus mampu menyinergikan semangat ini ke dalam mekanisme kerja antar-lembaga, sedangkan pemerintah daerah dan desa perlu memperkuat kepercayaan masyarakat sebagai mitra strategis pembangunan.
Dalam praktik pemerintahan modern, gotong royong tidak berarti anti-teknologi atau anti-profesionalisme. Justru, gotong royong yang berlandaskan nilai dapat mengisi kekosongan etis dalam birokrasi yang kerap tersandera oleh rutinitas dan formalitas.
Saat masyarakat desa merasa menjadi bagian dari proses pembangunan, bukan sekadar objek, maka efektivitas kebijakan meningkat dan resistensi sosial menurun. Sebaliknya, pembangunan yang menjauh dari semangat gotong royong akan berisiko memperlebar jarak antara negara dan rakyatnya, serta melanggengkan ketimpangan sosial. Dengan demikian, Bulan Bung Karno menjadi ruang strategis untuk meneguhkan kembali semangat gotong royongnilai-nilai Pancasila, dan ajaran Trisakti sebagai fondasi bagi tata pemerintahan yang solid dan efektif dari tingkat pusat hingga desa.
Di tengah tantangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan polarisasi politik, bangsa Indonesia membutuhkan narasi kebangsaan yang mampu merekatkan dan menggerakkan — dan warisan Bung Karno memberikan semua itu.
Manakala pemerintahan dan masyarakat sama-sama berkomitmen pada nilai-nilai tersebut, maka pembangunan nasional tidak hanya akan berjalan efektif secara teknokratis, tetapi juga bermakna secara ideologis dan membumi secara sosial. Oleh karena itu, mewujudkan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana dicita-citakan Bung Karno hanya mungkin tercapai bila ajarannya tidak hanya dikenang, tetapi benar-benar di-implementasikan dari desa hingga ke pusat pemerintahan.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MSadalah Dewan Pakar BPIP RI dan Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).