Perang Iran-Israel: Krisis Baru yang Mengguncang Geoekonomi dan Geopolitik Dunia

PERANG terbuka antara Israel dan Iran yang meletus pada 13 Juni 2025, menandai titik balik dramatis dalam dinamika konflik Timur Tengah.
Serangan udara Israel terhadap fasilitas nuklir strategis Iran di Natanz dan Isfahan dalam "Operation Rising Lion", serta respons balasan Iran melalui "True Promise III Operation" yang menghantam pusat komando militer Israel, menandai eskalasi konflik yang sebelumnya berlangsung dalam bayang-bayang.
Pertempuran ini dengan cepat menjadi lebih dari sekadar bentrokan dua negara: ia berubah menjadi krisis regional yang memicu kekhawatiran global akan pecahnya perang besar di kawasan sensitif, yang menjadi titik temu kepentingan kekuatan dunia.
Konflik ini bukan insiden yang berdiri sendiri, melainkan puncak dari rangkaian permusuhan historis, ideologis, dan geopolitik yang telah berlangsung selama dekade.
Israel dan Iran selama ini terlibat dalam "perang bayangan" di berbagai front melalui operasi intelijen, serangan udara di Suriah dan Lebanon, serta dukungan terhadap kelompok proksi.
Dampak perang ini meluas ke ranah geoekonomi global.
Lonjakan harga minyak mentah dunia akibat potensi terganggunya Selat Hormuz, yang dilalui lebih dari 30 persen pasokan minyak global, mengancam pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Negara-negara pengimpor energi seperti China, India, dan Uni Eropa kini menghadapi tekanan inflasi baru dan ketidakpastian pasokan.
Di sisi lain, krisis ini juga memperdalam polarisasi geopolitik global:
Amerika Serikat dengan jelas mendukung Israel, sementara Rusia dan China mengambil posisi yang lebih seimbang dengan menyerukan dialog dan mengkritik tindakan sepihak.
Hal ini menunjukkan bahwa konflik ini berpotensi memperkuat rivalitas kekuatan besar dalam struktur internasional multipolar.
Bagi Indonesia, konflik ini menimbulkan tantangan dan sekaligus peluang geopolitik.
Sebagai negara net-importir energi, lonjakan harga minyak dapat membebani APBN dan inflasi domestik.
Namun, Indonesia juga memiliki posisi strategis sebagai kekuatan regional dan mitra dalam diplomasi Islam global.
Dengan komitmen terhadap prinsip bebas aktif dan dukungan terhadap penyelesaian damai, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam forum multilateral seperti OKI dan GNB untuk mendorong de-eskalasi.
Di saat yang sama, krisis ini menjadi pengingat pentingnya memperkuat ketahanan energi nasional dan kapasitas diplomasi krisis dalam menghadapi ketidakpastian geopolitik yang kian meningkat.
Polarisasi blok geopolitik dunia
Perang terbuka antara Iran dan Israel tidak hanya menjadi konflik regional bersenjata, tetapi juga memperjelas terbentuknya blok-blok geopolitik baru dalam sistem internasional yang kian multipolar.
Dukungan kuat Amerika Serikat terhadap Israel menunjukkan konsistensi aliansi strategis yang telah terbangun selama puluhan tahun.
Sebaliknya, Iran mendapatkan simpati dan dukungan tidak langsung dari dua kekuatan besar lain: Rusia dan China.
Kedua negara tersebut mengecam serangan Israel dan menekankan pentingnya penyelesaian damai berdasarkan prinsip kedaulatan nasional.
China, dengan ketergantungan tinggi pada pasokan energi dari kawasan Teluk, memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang dan mengusulkan pembentukan forum perdamaian baru.
Rusia, di sisi lain, yang masih terlibat dalam konflik berkepanjangan di Ukraina, memandang perang ini sebagai peluang strategis untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Timur Tengah, khususnya di antara negara-negara yang menentang dominasi Barat.
Maka konflik ini mempertegas intensifikasi kompetisi kekuatan besar (great power competition), di mana setiap krisis regional menjadi ajang proyeksi kepentingan dan kekuatan global.
Perang Iran-Israel tidak hanya memicu perlombaan retorika dan aliansi, tetapi juga memengaruhi dinamika hubungan antarnegara dalam berbagai forum internasional.
Amerika Serikat berupaya menggalang dukungan negara-negara Barat, sementara Rusia dan China menggunakan instrumen diplomatik untuk membangun blok tandingan berbasis prinsip multipolarisme dan kedaulatan.
Polarisasi ini mengingatkan kembali pada pola ketegangan global semasa Perang Dingin, tapi dengan bentuk yang lebih kompleks dalam konteks globalisasi ekonomi.
Dalam konteks Asia, pergeseran geopolitik ini menimbulkan pertimbangan strategis baru.
Negara-negara di kawasan seperti India, Indonesia, dan ASEAN secara umum harus menavigasi lanskap diplomatik yang semakin terfragmentasi.
Ketika tekanan untuk memihak semakin kuat, negara-negara yang menganut prinsip nonblok menghadapi dilema: tetap netral atau mengambil posisi taktis demi kepentingan nasional.
Bagi Indonesia, perkembangan ini menuntut diplomasi yang adaptif dan prinsipil.
Sebagai negara dengan kebijakan luar negeri bebas aktif, Indonesia memiliki ruang untuk menjadi jembatan dialog antarblok melalui peran aktif di forum multilateral seperti GNB, OKI, dan ASEAN.
Polarisasi geopolitik yang diperlihatkan oleh perang Iran-Israel memberi peluang bagi Indonesia untuk menegaskan kembali posisinya: sebagai kekuatan moral di kancah internasional—menyuarakan penyelesaian damai berbasis keadilan, menghormati kedaulatan, dan menghindari penggunaan kekuatan sebagai instrumen utama kebijakan luar negeri.
Kepentingan strategis Indonesia
Perang terbuka antara Iran dan Israel juga menimbulkan implikasi serius bagi politik luar negeri dan kepentingan nasional Indonesia.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sekaligus kekuatan utama di Asia Tenggara, maka Indonesia tidak dapat bersikap apatis terhadap konflik ini.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang berpijak pada prinsip bebas aktif menuntut respons diplomatik yang tegas, tapi berimbang.
Bersamaan pula Indonesia secara historis konsisten mendukung perjuangan Palestina dan menentang pendudukan Israel.
Di sisi lain, Indonesia harus menjaga hubungan strategis dengan Iran, negara-negara Teluk, serta Amerika Serikat, demi kepentingan ekonomi, energi, dan keamanan kawasan.
Soalnya dampak ekonomi dari konflik ini terasa –secara langsung-- terhadap struktur fiskal Indonesia.
Lonjakan harga minyak dunia yang menembus 120 dollar AS per barel meningkatkan tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terutama melalui kenaikan biaya subsidi energi.
Sebagai negara pengimpor minyak bersih, Indonesia menghadapi risiko pembengkakan defisit fiskal jika harga energi tidak dikendalikan.
Sektor-sektor seperti logistik, transportasi, dan industri manufaktur akan mengalami peningkatan biaya produksi, yang berpotensi menekan daya saing dan menimbulkan efek inflasi berantai pada harga barang konsumsi masyarakat.
Meskipun demikian, krisis ini juga membuka peluang strategis bagi Indonesia untuk memainkan peran aktif dalam diplomasi internasional.
Indonesia dapat memanfaatkan jalur-jalur multilateral seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Gerakan Non-Blok (GNB), dan forum ASEAN+ untuk memediasi konflik dan membangun koalisi negara-negara berkembang yang mendesak penyelesaian damai.
Dalam konteks diplomasi Selatan-Selatan, Indonesia memiliki legitimasi moral dan historis untuk bertindak sebagai penengah yang netral namun berprinsip, khususnya dalam menekankan pentingnya penghormatan terhadap kedaulatan negara dan pelarangan penggunaan kekuatan militer secara sepihak.
Selain itu, konflik ini menjadi pengingat penting bagi Indonesia mengenai urgensi pembangunan sistem pertahanan dan diplomasi yang adaptif di era ketidakpastian global.
Ketegangan di Timur Tengah menunjukkan bahwa konflik regional dapat dengan cepat berdampak secara global, termasuk terhadap negara-negara yang secara geografis jauh dari pusat konflik.
Ancaman disintegrasi kawasan Timur Tengah
Perang antara Iran dan Israel pun memperparah ketidakstabilan yang telah lama melanda kawasan Timur Tengah.
Konflik ini memperkuat kecenderungan destabilisasi politik dan keamanan yang sebelumnya tersembunyi di bawah permukaan.
Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) kini berada dalam posisi strategis yang dilematis:
Di satu sisi mereka memiliki kekhawatiran serius terhadap ambisi nuklir Iran yang dapat mengancam keseimbangan kekuatan kawasan.
Di sisi lain, mereka berupaya keras menghindari keterlibatan langsung yang dapat memicu ketegangan domestik dan merusak stabilitas ekonomi nasional yang bergantung pada investasi dan ekspor energi.
Situasi menjadi semakin kompleks dengan meningkatnya keterlibatan aktor-aktor non-negara yang terhubung ke poros Teheran.
Hizbullah di Lebanon telah mengisyaratkan kesiapan untuk membuka front utara terhadap Israel, menciptakan potensi perang multiarena.
Di Irak, kelompok milisi pro-Iran telah mulai melancarkan serangan terbatas terhadap basis militer AS, memperluas wilayah konflik dari Levant ke Mesopotamia.
Di tengah potensi fragmentasi ini, negara-negara seperti Turkiye dan Qatar mengambil posisi sebagai mediator, menawarkan saluran diplomatik untuk meredam eskalasi lebih lanjut demi mencegah konflik berubah menjadi perang regional skala penuh.
Risiko perang regional terbuka di Timur Tengah bukan sekadar skenario militer, tetapi juga ancaman nyata terhadap pembangunan sosial-ekonomi kawasan.
Infrastruktur yang baru mulai dipulihkan di negara-negara seperti Suriah dan Yaman kembali terancam hancur akibat limpahan kekerasan dari pusat konflik.
Lebih jauh, konflik ini juga menimbulkan perpecahan internal di antara negara-negara Arab.
Beberapa, seperti Yordania dan Oman, memilih netralitas aktif; sementara yang lain terpecah antara kecaman terhadap Israel dan ketidakpercayaan terhadap agenda regional Iran.
Pola keterbelahan ini melemahkan solidaritas regional yang selama ini menjadi fondasi bagi inisiatif diplomasi bersama, termasuk dalam kerangka Liga Arab.
Kegagalan kawasan ini untuk merespons secara kohesif memperkuat persepsi bahwa Timur Tengah masih menjadi ruang terbuka bagi intervensi eksternal, sekaligus mengurangi daya tawar negara-negara Arab dalam geopolitik global.
Oleh karena itu, perang Iran-Israel bukan hanya masalah dua negara atau konflik ideologi.
Ini adalah katalisator bagi destabilisasi struktural regional yang dapat menggagalkan upaya rekonstruksi, perdamaian, dan pembangunan selama beberapa dekade.
Secara keseluruhan, perang Iran-Israel merupakan bukti nyata kegagalan komunitas internasional dalam mencegah eskalasi konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Agresi militer yang dimulai dengan serangan Israel terhadap fasilitas strategis Iran, dan dibalas oleh serangan rudal Iran ke pusat-pusat militer Israel, mencerminkan kegagalan kolektif dalam mengelola krisis nuklir, rivalitas ideologis, serta dinamika regional yang tidak stabil.
Dalam lanskap global yang semakin terpolarisasi, perang ini membuktikan bahwa konflik regional dapat dengan cepat berubah menjadi krisis global yang berdampak pada keamanan, ekonomi, dan stabilitas internasional.
Perang ini juga menyoroti kerapuhan sistem keamanan kawasan, terutama di Timur Tengah yang telah lama menjadi ajang rivalitas proksi antara kekuatan global.
Tidak adanya mekanisme keamanan regional yang efektif, lemahnya kepercayaan antarnegara, dan dominasi pendekatan militeristik membuat kawasan ini mudah terbakar oleh provokasi atau kebuntuan diplomasi.
Ketika solusi politik gagal dan jalur negosiasi buntu, jalan kekerasan menjadi pilihan tragis, tapi nyata yang diambil oleh aktor-aktor negara, mengorbankan nyawa warga sipil dan menghancurkan infrastruktur vital.
Dampak konflik ini juga merambat ke tataran geoekonomi global.
Ketergantungan dunia pada pasokan energi dari kawasan Timur Tengah menjadikan krisis ini sebagai pemicu volatilitas pasar yang berujung pada lonjakan harga minyak, disrupsi rantai pasok, dan tekanan inflasi global.
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terancam instabilitas harga komoditas, kerentanan fiskal, dan disrupsi perdagangan yang mengganggu upaya pemulihan ekonomi pascapandemi dan konflik Ukraina.
Dalam situasi ini, krisis regional tidak lagi bersifat lokal, tetapi memiliki implikasi sistemik yang menjangkau berbagai benua.
Maka penyelesaian konflik tidak cukup hanya berhenti pada penghentian tembakan.
Dunia membutuhkan arsitektur keamanan baru yang lebih inklusif, dan tidak didominasi kepentingan satu kutub kekuatan semata.
Dari sini reformasi dalam sistem internasional menjadi keniscayaan, dengan penekanan pada supremasi hukum internasional, penghormatan terhadap kedaulatan negara, dan penguatan institusi multilateral.
Indonesia bersama negara-negara berkembang lainnya memiliki tantangan sekaligus tanggung jawab untuk menjadi kekuatan penyeimbang dalam dunia yang semakin bergejolak.
Dengan modal politik luar negeri bebas aktif, komitmen terhadap perdamaian, dan rekam jejak dalam forum-forum internasional, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam mendorong dialog, membangun konsensus, dan memperkuat tatanan internasional yang lebih adil.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, Expert Council on Geopolitics and Geostrategy, BPIP RI