Konflik Israel-Iran: Gencatan Senjata Tanpa Kepercayaan

GENCATAN senjata antara Israel dan Iran yang mulai berlaku pada 24 Juni 2025, patut diapresiasi sebagai langkah awal meredam konflik terbuka. Namun, banyak pihak di dunia, termasuk Indonesia, menilai bahwa gencatan ini tidak dibangun atas dasar saling percaya, melainkan karena tekanan situasional dan kalkulasi strategis semata.
Ketika bom sudah jatuh dan nyawa telah melayang, jeda tembak bukanlah jaminan perdamaian. Ia bisa menjadi angin tenang sebelum badai yang lebih besar. Masyarakat internasional pun menyadari bahwa kesepakatan damai yang tidak didasari kepercayaan akan sulit bertahan.
Serangan udara, rudal, dan operasi militer selama 12 hari telah merenggut lebih dari 600 nyawa warga Iran, sementara di pihak Israel tercatat 28 korban jiwa. Ketimpangan ini tidak hanya memperdalam luka, tetapi juga memperkuat narasi balas dendam dan ketidakadilan. Di sinilah masalahnya: tanpa keadilan, perdamaian tidak akan memiliki akar yang kuat.
Bangsa Indonesia, yang selalu mengedepankan prinsip kemanusiaan dan perdamaian dunia – seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, tentu menyaksikan dengan prihatin eskalasi konflik di Timur Tengah ini.
Sebagai negara yang memiliki hubungan baik dengan komunitas internasional, Indonesia memiliki kepentingan moral dan geopolitik untuk mendorong penyelesaian damai, tidak hanya sebatas gencatan senjata, tetapi juga perundingan yang adil dan bermartabat. Harapan rakyat Indonesia sejalan dengan suara mayoritas dunia: hentikan perang, duduklah di meja dialog.
Warga dunia juga semakin menyadari bahwa perang bukan hanya soal militer atau geopolitik, tetapi menyangkut kehidupan manusia biasa: anak-anak yang kehilangan orangtua, rumah hancur, dan masyarakat yang dilumpuhkan secara ekonomi.
Maka, harapan terbesar dari masyarakat global adalah agar konflik semacam ini tidak berlanjut menjadi perang regional yang meluas. Dunia sudah cukup lelah dengan peperangan yang tidak berkesudahan, dan masyarakat internasional menuntut para pemimpin untuk bertanggung jawab, bukan hanya terhadap negaranya, tapi juga terhadap kemanusiaan.
PBB memang telah menyerukan penghormatan terhadap gencatan senjata, namun tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, imbauan itu rentan diabaikan. Ketika kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan Israel bertindak tanpa kontrol multilateral yang tegas, maka yang terjadi bukanlah perdamaian, melainkan dominasi.
Gencatan senjata yang rawan gagal
Resminya berakhir perang 12 hari antara Israel dan Iran melalui kesepakatan gencatan senjata, pada 24 Juni 2025, maka semestinya menjadi titik balik bagi upaya perdamaian di Timur Tengah. Namun, bagi Iran, kesepakatan ini justru menyisakan tanda tanya besar.
Pernyataan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Jenderal Abdolrahim Mousavi, yang secara terbuka meragukan komitmen Israel terhadap gencatan senjata menunjukkan bahwa perdamaian yang diteken ini lebih rapuh daripada kokoh.
Kecurigaan Iran terhadap Israel dibentuk oleh pengalaman historis dan perilaku berulang, di mana janji-janji damai sering kali dibatalkan secara sepihak oleh Tel Aviv ketika konstelasi politik atau militer menguntungkan mereka.
Keraguan Iran semakin diperkuat dengan pernyataan Israel sendiri, yang dalam waktu hampir bersamaan mengumumkan akan kembali memfokuskan serangan ke Jalur Gaza, menargetkan Hamas. Ini menandakan bahwa sikap militeristik Israel tidak berhenti seiring gencatan senjata dengan Iran.
Justru, hal ini memunculkan kesan bahwa gencatan senjata bersifat sektoral dan tak menyentuh akar konflik. Bagi banyak pihak di kawasan, ini mencerminkan bahwa Israel cenderung melihat gencatan senjata sebagai jeda taktis, bukan niat strategis untuk meredakan konflik secara menyeluruh.
Dari sudut pandang strategi pertahanan, Iran merespons dengan mengadopsi postur deterrence atau pencegahan. Retorika keras dari Teheran yang menegaskan kesiapan untuk memberikan balasan jika diserang lagi menunjukkan bahwa gencatan senjata saat ini bersifat conditional ceasefire.
Perdamaian semacam ini tidak lahir dari rasa saling percaya, melainkan dari kalkulasi kekuatan dan tekanan dari komunitas internasional. Dalam banyak kasus di Timur Tengah, gencatan seperti ini berumur pendek karena tak diikuti oleh rekonsiliasi politik ataupun jaminan keamanan yang kredibel dari kedua pihak.
Apa yang kita saksikan sesungguhnya adalah lemahnya penegakan norma internasional dalam menangani konflik berdimensi eksistensial. Baik Israel maupun Iran sama-sama memandang konflik ini sebagai urusan kelangsungan hidup negara mereka. Dalam kondisi seperti ini, norma-norma hukum internasional kerap dikesampingkan demi keunggulan militer atau dominasi geopolitik.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memang menyerukan penghormatan terhadap gencatan senjata, tetapi efektivitas seruan itu sangat bergantung pada kepatuhan sukarela—bukan paksaan hukum atau sanksi yang efektif.
Maka gencatan senjata yang ada hari ini hanyalah perban sementara bagi luka dalam yang belum disembuhkan. Tanpa langkah diplomatik yang jujur dan komprehensif, serta mekanisme pengawasan internasional yang kuat, kesepakatan damai semacam ini mudah pecah sewaktu-waktu.
Dunia internasional, khususnya negara-negara besar yang memiliki pengaruh langsung terhadap kedua pihak, perlu turun tangan lebih serius. Jika tidak, Timur Tengah akan terus terjebak dalam siklus kekerasan yang berulang: perang, gencatan, dan perang lagi.
Perang informasi dan ketegangan asimetris
Konflik antara Israel dan Iran tidak hanya berlangsung dalam bentuk serangan militer konvensional, tetapi juga menjalar ke wilayah yang lebih tak terlihat: perang informasi dan spionase.
Baru-baru ini, Kementerian Intelijen Iran menuding agen-agen Israel telah meluncurkan kampanye telepon massal ke warga sipil Iran. Tujuannya bukan sekadar gangguan teknis, tetapi upaya terstruktur untuk mengakses data pribadi dan menyebarkan disinformasi guna menggoyang stabilitas internal.
Tuduhan ini menjadi sinyal kuat bahwa bentuk baru peperangan, yang dikenal sebagai hybrid warfare, sedang berlangsung—memadukan kekuatan militer, siber, psikologi, dan propaganda dalam satu kerangka strategis.
Fenomena ini sejalan dengan konsep fourth generation warfare (4GW), yakni fase peperangan modern di mana batas antara pejuang dan warga sipil, antara medan perang dan ruang publik, menjadi kabur. Dalam 4GW, dimensi psikologis, sosial, dan siber justru menjadi lebih dominan ketimbang senjata konvensional.
Iran secara eksplisit menganggap bahwa serangan semacam ini merupakan bagian dari agresi non-militer yang tak kalah berbahaya dari rudal dan drone. Karena ancaman itu menyasar kesadaran kolektif masyarakat, serangannya tidak terlihat secara fisik, tetapi efeknya bisa menghancurkan ketahanan nasional dari dalam.
Yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana disinformasi dan manipulasi informasi dapat merusak kohesi sosial secara sistemik. Kampanye spionase dan perang informasi semacam ini dirancang bukan untuk mengalahkan lawan di medan tempur, melainkan untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menciptakan keresahan horizontal antarwarga negara.
Situasi ini menggarisbawahi perubahan besar dalam paradigma pertahanan negara. Tidak cukup lagi mengandalkan tank, pesawat tempur, atau rudal sebagai simbol kekuatan. Negara-negara kini harus memperkuat sistem keamanan siber, literasi media masyarakat, dan strategi komunikasi publik untuk menghadapi bentuk-bentuk ancaman non-fisik.
Dalam banyak kasus, kekalahan dalam perang informasi dapat lebih fatal dibandingkan kekalahan dalam pertempuran bersenjata, karena efeknya berlangsung jangka panjang dan merusak struktur sosial dari dalam.
Maka dari itu, perang modern seperti yang terlihat dalam konflik Israel-Iran menuntut pendekatan yang jauh lebih komprehensif. Pemerintah dan masyarakat harus bersiap menghadapi bentuk-bentuk serangan baru yang tidak lagi datang dengan dentuman bom, tetapi lewat pesan teks, narasi palsu, dan infiltrasi opini publik.
Dalam dunia yang makin terhubung secara digital, ketahanan negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tetapi juga dari kemampuannya menjaga integritas informasi dan kohesi nasional di tengah gempuran propaganda asimetris.
Multilateralisme lemah
Seruan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, agar semua pihak menghormati gencatan senjata antara Israel dan Iran, mencerminkan peran normatif PBB sebagai penjaga perdamaian dunia. Namun, dalam realitas geopolitik kontemporer, seruan seperti itu lebih sering terdengar sebagai retorika moral ketimbang mekanisme penyelesaian yang efektif.
Tanpa instrumen penegakan yang kuat dan mengikat, PBB cenderung hanya menjadi pengamat di tengah pusaran konflik. Konflik Israel-Iran adalah contoh terbaru di mana PBB tidak mampu berbuat banyak, selain mengimbau.
Salah satu akar persoalannya terletak pada Dewan Keamanan PBB yang terlalu sering terpolarisasi oleh kepentingan veto lima negara besar. Ketika negara-negara tersebut—terutama Amerika Serikat, yang merupakan sekutu strategis Israel—memiliki kepentingan langsung dalam suatu konflik, upaya multilateralisme untuk meredakan ketegangan menjadi tersumbat.
Veto demi veto menjadikan resolusi-resolusi penting mandek, dan konflik pun berlangsung tanpa penengah yang berdaya paksa.
Dalam sistem internasional yang multipolar, ketidakseimbangan semacam ini makin menyulitkan konsolidasi lembaga-lembaga internasional. Konflik Israel-Iran menunjukkan bagaimana negara-negara besar kerap bertindak unilateralis tanpa menunggu mandat internasional. AS, misalnya, langsung terlibat menyerang fasilitas nuklir Iran tanpa proses multilateral yang sah.
Sementara itu, Iran pun memilih respons sepihak dengan meluncurkan rudal ke wilayah Israel. Dalam situasi seperti ini, diplomasi multilateral tidak hanya dilemahkan secara teknis, tetapi juga kehilangan kredibilitasnya di mata publik global. PBB dipandang tak lebih dari forum diskusi, bukan lembaga eksekusi.
Padahal, di tengah dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, multilateralisme tetap menjadi kebutuhan mendesak. Tantangan-tantangan besar dari konflik geopolitik, terorisme, hingga perubahan iklim tidak bisa diselesaikan secara unilateral.
Maka agar multilateralisme benar-benar berfungsi, diperlukan kemauan politik dari negara-negara besar untuk menghormati hukum internasional dan berbagi tanggung jawab dalam menjaga ketertiban dunia.
Tanpa itu, sistem internasional akan terus didominasi oleh hukum rimba: siapa yang kuat, dia yang menentukan arah.
Oleh karena itu, solusi jangka panjang untuk perdamaian dan stabilitas global tidak cukup hanya dengan memperkuat lembaga seperti PBB secara administratif. Yang lebih penting, adalah mengubah pola pikir para aktor utama agar bersedia bekerja dalam kerangka kolektif yang inklusif dan adil.
Dunia membutuhkan multilateralisme yang tidak hanya bersifat simbolis-tetapi juga fungsional-di mana keadilan dan aturan bersama lebih kuat daripada veto politik dan kepentingan sepihak. Tanpa itu, setiap konflik besar hanya akan menjadi tahap berikutnya dari kegagalan diplomasi global
Konflik bersenjata selama 12 hari antara Israel dan Iran bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga luka sosial dan politik yang dalam.
Jumlah korban yang jatuh menunjukkan ketimpangan yang mencolok: lebih dari 610 warga Iran tewas dan 4.000 lainnya luka-luka, sedangkan di pihak Israel, 28 warga tewas dengan 2.000 korban luka. Perbedaan angka ini menciptakan bukan sekadar perbedaan statistik, tetapi jurang persepsi yang semakin dalam.
Bagi rakyat Iran, tragedi ini menjadi bukti baru tentang ketimpangan kekuatan dan perlakuan dunia internasional, serta memperkuat narasi nasional bahwa mereka adalah korban dari agresi yang didukung Barat.
Dampak dari ketimpangan ini tidak berhenti pada angka-angka. Ia membentuk narasi politik yang dapat memperkuat posisi kelompok konservatif dan garis keras di Iran, yang selama ini menyerukan perlunya kemandirian strategis dan kewaspadaan terhadap campur tangan asing.
Dalam konteks politik domestik Iran, korban jiwa menjadi bahan bakar retorika anti-Barat dan anti-Israel yang berpotensi mempersempit ruang diplomasi di masa depan. Ketika masyarakat disatukan oleh trauma kolektif, maka ruang untuk kompromi atau dialog kian menyempit—dan inilah bahaya jangka panjang dari konflik yang tidak disertai penyembuhan politik.
Di sisi lain, Israel telah mengumumkan bahwa fokus militernya akan kembali diarahkan ke Jalur Gaza untuk melawan Hamas. Namun, pengalihan fokus ini bukan jaminan bahwa ketegangan dengan Iran akan mereda.
Sebaliknya, Israel kini menghadapi risiko konfrontasi dua arah yang simultan—konflik berkepanjangan di Palestina, dan potensi bentrokan susulan dengan Iran di kawasan Teluk Persia. Hal ini menciptakan tekanan strategis yang besar terhadap militer dan politik luar negeri Israel, sekaligus memicu eskalasi regional yang bisa melibatkan kekuatan besar dunia.
Kondisi ini memperjelas bahwa gencatan senjata yang disepakati hanyalah jeda yang rapuh. Tidak ada jaminan bahwa kekerasan tidak akan meletus kembali dalam waktu dekat. Dalam keadaan di mana luka belum sempat diobati dan kepercayaan tidak pernah tumbuh, maka konflik mudah tersulut kembali oleh insiden kecil.
Tanpa mekanisme yang jelas untuk penyelesaian politik dan keadilan bagi para korban, perdamaian hanya akan menjadi ilusi sementara.
Ketika tidak ada mekanisme yang jelas untuk penyelesaian politik dan keadilan bagi para korban, maka perdamaian hanya menjadi ilusi sementara. Dari itu yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar penghentian senjata, tetapi upaya serius untuk membangun arsitektur perdamaian yang lebih adil dan berkelanjutan. Tanpa pengakuan terhadap korban dan tanggung jawab terhadap ketimpangan yang terjadi, luka strategis ini akan tetap menganga.
Dunia internasional harus mendorong proses pemulihan yang mencakup dimensi politik, psikologis, dan sosial agar tragedi ini tidak menjadi akar konflik baru di masa depan.
Sebab jika luka dibiarkan, maka ia akan menjadi bara yang sewaktu-waktu menyala kembali.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
Board of Experts for Geopolitics and Geostrategy, BPIP RI