The Shadow of Greater Israel’s Hegemony: Global, Regional, and Indonesian Constellations

BERITA mengenai ekspansionisme Israel yang semakin meluas, dengan Qatar sebagai korban awal dan Turkiye diperkirakan menjadi target berikutnya. Jelaslah ini tidak dapat dipahami sebagai sekadar riak geopolitik singkat.
Lantaran ia adalah gema dari drama panjang yang menyulam Timur Tengah ke dalam pusaran perebutan ruang, legitimasi, dan dominasi.
Narasi “Israel Raya” bukan hanya bayangan ideologis, melainkan proyek religio-geopolitik yang berusaha menafsir ulang peta, menghapus batas modern, dan memaksakan hegemoni yang menakutkan.
Dari sinilah, kawasan ini kembali dipaksa menjadi panggung bagi kontradiksi sejarah dan tarian abadi kekuatan.
Dalam lanskap geopolitik kawasan, Qatar dan Turkiye hanyalah simpul dari rantai panjang resistensi.
Serangan ke Doha beberapa waktu lalu, dapat dibaca sebagai upaya Israel untuk mengirim pesan kepada setiap negara yang berani menentang hegemoninya: tidak ada yang aman dari jangkauan Tel Aviv.
Turkiye, dengan warisan Kekhilafahan Utsmaniyah dan statusnya sebagai kekuatan militer NATO, berdiri di tepi jurang yang berbahaya.
Kawasan pun terguncang, sebab solidaritas dunia Arab dan Islam sendiri retak: sebagian condong ke normalisasi dengan Israel, sebagian lain bertahan dalam perlawanan.
Dengan demikian, Timur Tengah menjadi cermin dari paradoks: satu bangsa menuntut pengakuan lewat dominasi, sementara yang lain berjuang mempertahankan ruang kebebasan yang kian terdesak.
Namun, bayangan ini tidak berhenti pada batas kawasan. Geopolitik global hadir sebagai latar besar di mana setiap langkah Israel beresonansi dengan peran Amerika Serikat, NATO, Rusia, hingga China.
Washington menopang Tel Aviv dengan legitimasi dan kekuatan, menjadikannya pion utama dalam menjaga arsitektur kepentingan AS di kawasan.
Rusia, meski sibuk di Ukraina, tetap mengukuhkan pijakan di Suriah. China, dengan jalan sunyi diplomasi ekonomi, mencari ruang untuk menantang dominasi Barat.
Dengan demikian, ekspansi Israel tidak bisa dipisahkan dari persaingan global: Timur Tengah adalah cermin perang dingin baru, tempat hegemon lama dan kekuatan baru mengukur tarikan pengaruh.
Dalam bayang-bayang perebutan itu, Indonesia tak bisa sekadar menjadi penonton jauh. Politik bebas-aktif , yang diwariskan sejak era awal Republik Besar ini, menuntut sikap moral sekaligus strategi pragmatis. Indonesia punya mandat konstitusional untuk mendukung Palestina.
Bersamaan pula memiliki kepentingan geopolitik yang nyata: menjaga stabilitas jalur energi dari Teluk, memperkuat diplomasi maritim, dan membangun peran sebagai penyeimbang di forum global.
Maka geopolitik Indonesia berangkat dari kesadaran bahwa konflik di Timur Tengah akan selalu berimbas pada Asia Tenggara, baik dalam bentuk harga energi, arus migrasi, maupun konstelasi diplomasi multilateral.
Doktrin Keamanan Israel dan Logika Ekspansi
Israel, dengan kedalaman teritorial yang sempit, menolak menunggu serangan musuh dan memilih memukul lebih dulu. Namun, logika pertahanan itu kini bertransformasi menjadi narasi ekspansionisme, yang berbalut ideologi religius-politik tentang “Israel Raya.”
Dalam perubahan wajah ini, doktrin lama tidak lagi sekadar menjaga keberlangsungan negara, melainkan menjadi justifikasi bagi langkah hegemonik yang melintasi batas-batas hukum internasional.
Ia adalah strategi yang mengaburkan garis antara bertahan hidup dan memperluas dominasi.
Namun, Israel bukanlah aktor yang berdiri sendiri di panggung sejarah. Bayangannya diperbesar oleh patron utama: Amerika Serikat.
Washington, dengan seluruh kapasitas militer dan politik globalnya, menjadi penyokong utama yang memastikan Israel berani melangkah sejauh apapun.
Dukungan dana, senjata, dan legitimasi diplomatik di PBB membentuk tameng yang membuat Tel Aviv tidak pernah benar-benar sendiri.
Dari perspektif geopolitik global, inilah wajah Pax Americanayang menemukan artikulasinya melalui Israel: kepentingan strategis AS di kawasan disalurkan lewat keberanian ekspansionis Tel Aviv.
Di sisi lain, Rusia tampil dengan wajah ganda. Ia mendukung rezim Suriah dan memainkan kartu pengaruhnya di kawasan, tetapi tidak sepenuhnya memutuskan hubungan dengan Israel.
Kanal komunikasi tetap dibuka, serangan udara Israel di Suriah kerap dibiarkan, seolah Moskow menimbang kepentingannya yang lebih luas.
Ambiguitas ini mencerminkan kalkulasi klasik Rusia: menjaga pijakan strategis di Timur Tengah, sembari menghindari konfrontasi langsung yang bisa merugikan kepentingannya dalam konstelasi global.
Dengan demikian, Rusia menjadi bayangan yang tidak selalu konsisten, namun tetap relevan dalam setiap denyut dinamika kawasan.
Sementara itu, China memasuki gelanggang dengan cara berbeda. Ia tidak mengumbar kekuatan militer, melainkan menabur diplomasi ekonomi dan energi.
Belt and Road Initiative, investasi infrastruktur, hingga kerja sama energi dengan negara-negara Teluk, adalah cara Beijing menanamkan pengaruh.
Kehadirannya adalah jalan sunyi yang berusaha menyeimbangkan dominasi Barat, dengan menawarkan alternatif keterhubungan global yang tidak bersenjata.
Meski tidak frontal melawan Israel, China dengan caranya memperlemah monopoli geopolitik Amerika di kawasan, membuka kemungkinan poros baru yang lebih multipolar.
Dengan demikian, ancaman Israel ke Turkiye sesungguhnya adalah simpul dari persaingan global yang lebih luas.
Ia bukan semata persoalan dua negara yang berpotensi bertikai, melainkan refleksi dari tarikan kepentingan Amerika, Rusia, dan China yang menjadikan Timur Tengah sebagai cermin geopolitik dunia.
Hegemoni Kawasan dan Bayangan Global
Ancaman ekspansionis Israel bukanlah riak sesaat, melainkan api yang bisa menjalar hingga ke cakrawala global.
Ia memperlihatkan bagaimana geopolitik kawasan, geopolitik global, dan kepentingan Indonesia bertaut erat, membentuk jaringan yang tak terpisahkan.
Timur Tengah, sekali lagi, berdiri sebagai barometer dunia: apakah ia akan tunduk pada bayangan hegemoni, atau melahirkan keseimbangan baru yang lahir dari resistensi dan solidaritas?
Pertanyaan itu, pada akhirnya, bukan hanya milik Turkiye atau Qatar, melainkan juga tanggung jawab moral bangsa-bangsa, termasuk Indonesia, yang telah bersumpah untuk ikut serta menegakkan perdamaian dunia.
Namun, Timur Tengah kini sekaligus pula sebagai mosaik konflik yang saling terhubung, di mana satu percikan api segera menyulut bara di tempat lain.
Israel berusaha mengamankan dirinya lewat dominasi, dengan mengusung narasi eksistensi yang bercampur dengan ambisi hegemoni.
Turkiye, di sisi lain, ingin menjaga ruang manuver sebagai kekuatan alternatif, mencoba menghadirkan poros yang tidak sepenuhnya tunduk pada logika Barat.
Namun, peta solidaritas Arab justru retak: sebagian memilih jalan normalisasi demi stabilitas ekonomi dan keamanan pragmatis, sementara sebagian lain bersikeras dalam resistensi.
Fragmentasi ini menjadikan kawasan rapuh, ibarat kaca pecah yang setiap serpihannya memantulkan cahaya konflik.
Pada titik ini, geopolitik kawasan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari bayangan geopolitik global.
Amerika Serikat meneguhkan hegemoni melalui Israel, menjadikannya instrumen sekaligus sekutu utama dalam menjaga arsitektur kepentingan Barat di Timur Tengah.
Rusia, dengan pijakan kuatnya di Suriah, mencoba mempertahankan relevansi dan pengaruhnya, meski dihadapkan pada keterbatasan akibat konflik Ukraina.
China, dengan jalan sunyi diplomasi ekonomi dan energi, mengintip peluang untuk mengikis dominasi Amerika, menawarkan alternatif konektivitas melalui investasi dan infrastruktur.
Sementara itu, Eropa terbelah antara kebutuhan energi dari kawasan dan klaim identitasnya sebagai penjaga nilai demokrasi.
Kehadiran semua aktor global ini menjadikan Timur Tengah bukan sekadar arena konflik regional, melainkan barometer pertarungan global.
Setiap manuver di kawasan adalah refleksi tarik-menarik kepentingan dunia: serangan Israel ke basis Iran tak hanya soal keamanan Tel Aviv, melainkan juga pesan ke Moskow dan Washington; langkah Turkiye mendekat ke Iran atau Qatar tak hanya soal regional, melainkan juga sinyal ke NATO dan Beijing.
Dengan demikian, Timur Tengah menjadi panggung di mana strategi lokal dan ambisi global saling berkelindan, menciptakan jaring kerumitan yang hampir tak mungkin diurai.
Dalam pusaran ini, hegemoni kawasan selalu bersentuhan dengan bayangan global.
Israel bisa mengklaim dirinya sebagai kekuatan dominan, tetapi tanpa patron Amerika, langkah itu akan rapuh.
Turkiye bisa menampilkan diri sebagai pengimbang, tetapi manuvernya selalu dinilai dalam konteks NATO dan poros non-Barat.
Bahkan negara-negara Arab yang memilih normalisasi sekalipun, sesungguhnya, sedang menghitung untung-rugi dalam kalkulasi geopolitik global. Tidak ada aktor yang benar-benar bebas; semua terikat pada tarikan gravitasi yang lebih besar.
Maka, Timur Tengah hari ini adalah cermin dunia. Ia menyingkap wajah multipolaritas yang belum stabil, memperlihatkan bagaimana konflik regional tidak lagi bisa dilihat secara terpisah, melainkan selalu menjadi pantulan dari dinamika global.
Hegemoni kawasan dan bayangan global adalah dua sisi koin yang sama, menegaskan bahwa masa depan Timur Tengah akan selalu terkait erat dengan pertarungan peradaban, energi, dan legitimasi di tingkat planet.
Indonesia dan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif Politik Luar Negeri
Indonesia, dengan politik luar negeri bebas-aktif , berdiri di luar pusaran ekspansionisme yang kerap mewarnai dinamika Timur Tengah.
Negeri ini tidak memiliki ambisi menaklukkan atau memperluas wilayah, namun memegang dua landasan fundamental yang tak tergoyahkan.
Pertama, landasan konstitusional: UUD 1945 dengan jelas menegaskan mandat untuk mendukung dekolonisasi, termasuk perjuangan Palestina.
Dan kedua, landasan geopolitik: menjaga keseimbangan global dengan sikap non-blok, menolak terseret dalam orbit kekuatan besar manapun, sembari tetap memainkan peran aktif dalam mengupayakan perdamaian.
Dengan fondasi begitulah Indonesia membentuk identitas diplomatiknya—identitas yang moral, tetapi sekaligus strategis.
Sedangkan dalam kerangka global, Indonesia memiliki ruang manuver yang lebih luas dari sekadar simpati normatif.
Keanggotaannya di G20, perannya di ASEAN, serta kedudukannya dalam Gerakan Non-Blok memberi Jakarta platform untuk menyuarakan kepentingan negara-negara Selatan.
Indonesia dapat mendorong lahirnya tatanan dunia yang lebih berimbang, di mana konflik Timur Tengah tidak semata dilihat dari kaca mata Barat, melainkan juga dari kepentingan global yang lebih inklusif.
Di forum-forum itu, Indonesia mampu menghadirkan suara yang menolak dominasi, mengedepankan keadilan, dan meneguhkan pentingnya solidaritas internasional.
Dimensi maritim juga menjadi relevan dalam membaca posisi Indonesia. Sebagai poros maritim dunia, jalur energi dari Timur Tengah ke Asia Timur melewati perairan Nusantara.
Ketegangan di Teluk atau eskalasi Israel–Turkiye akan segera berdampak pada rantai pasok energi yang menopang industri dan kehidupan rakyat Indonesia.
Dengan demikian, isu Timur Tengah bukanlah perkara jauh di luar jangkauan, melainkan langsung menyentuh kepentingan vital bangsa dalam hal ketahanan energi dan stabilitas ekonomi.
Diplomasi maritim Indonesia, dalam arti ini, adalah sekaligus instrumen menjaga kepentingan nasional dan kontribusi bagi perdamaian global.
Dari itu, keterlibatan Indonesia dalam isu Timur Tengah juga menyangkut legitimasi moral. Sejak masa Soekarno, Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai bangsa yang tidak hanya memikirkan kepentingan sempit nasional, tetapi juga perjuangan umat manusia.
Konsistensi membela Palestina dan menyerukan perdamaian dunia menjadi bagian dari warisan diplomatik yang terus diwariskan hingga kini.
Dalam dunia yang kian multipolar, Indonesia dapat memperkuat citranya sebagai jembatan—antara Utara dan Selatan, antara Barat dan Timur, antara dunia Islam dan komunitas internasional yang lebih luas.
Maka, konflik Israel–Turkiye, yang sekilas tampak jauh, sesungguhnya menyinggung kepentingan Indonesia di tiga dimensi sekaligus: konstitusional, geopolitik, dan moral.
Politik luar negeri bebas-aktif bukan hanya doktrin yang diulang-ulang, melainkan praktik nyata yang menempatkan Indonesia sebagai aktor penyeimbang.
Dari forum multilateral hingga jalur maritim strategis, dari dukungan pada Palestina hingga keterlibatan dalam stabilitas energi, Indonesia menunjukkan bahwa meski jauh secara geografis, ia tetap dekat secara geopolitik dan etis dengan denyut konflik di Timur Tengah.
Dari Qatar hingga Turkiye, dari Gaza hingga Damaskus, Timur Tengah kembali menyala sebagai tungku sejarah yang tak pernah padam apinya. Ancaman ekspansionis Israel hanyalah satu percikan dari bara panjang yang telah mengendap selama lebih dari tujuh dekade.
Kini, narasi “Israel Raya” menggantung di langit kawasan, menghadirkan dilema bagi Turkiye: apakah ia akan menjadi korban berikutnya dalam skema hegemonik Tel Aviv, atau justru tampil sebagai penantang utama yang berani mendobrak dominasi itu?
Pertanyaan tersebut, sesungguhnya, bukan sekadar soal Ankara. Melainkan tentang seluruh arsitektur keamanan kawasan yang diguncang setiap kali Israel bergerak.
Api yang membakar Timur Tengah tidak bisa lagi dilihat sebagai persoalan lokal. Ia adalah simpul dari persaingan global yang memantul dalam setiap retakan di kawasan.
Amerika Serikat menopang Israel sebagai instrumen hegemoninya, Rusia mempertahankan pijakan lewat Damaskus, China mengintip ruang melalui diplomasi ekonomi, sementara Eropa terjebak di antara kebutuhan energi dan klaim moralitasnya.
Dengan demikian, setiap konflik regional sejatinya adalah gema dari pertarungan global, tempat kepentingan besar berkelindan dengan luka-luka lokal.
Gaza, Suriah, Qatar, dan Turkiye hanyalah layar di mana drama multipolaritas dunia dipentaskan.
Bagi Turkiye, posisi ini ibarat persimpangan yang penuh risiko. Di satu sisi, ia terikat pada NATO yang condong pada orbit Washington; di sisi lain, imajinasi sejarah Utsmaniyah dan solidaritas dunia Islam mendorongnya untuk tampil sebagai pelindung Palestina.
Fragmentasi dunia Arab membuat jalan ini makin rumit, sebab tidak semua memilih jalan resistensi: sebagian justru mendekat ke Tel Aviv demi stabilitas pragmatis.
Turkiye pun terpaksa menari di atas panggung rapuh, menghadapi Israel sembari mengelola keretakan internal kawasan.Di sinilah ujian terbesar Ankara: mampu atau tidak ia menjaga keseimbangan di tengah pusaran hegemoni.
Indonesia, meski jauh secara geografis, sesungguhnya berada dekat dengan denyut konflik ini. Politik luar negeri bebas-aktif yang diwariskan para pendiri bangsa bukan berarti pasif, melainkan mengandung amanat untuk aktif membangun keseimbangan global.
UUD 1945 menegaskan mandat mendukung dekolonisasi, yang dalam konteks hari ini berarti keberpihakan pada Palestina.
Tetapi kepentingan Indonesia tidak berhenti di situ: stabilitas Timur Tengah adalah kunci bagi keamanan energi, bagi legitimasi moral Indonesia di dunia, dan bagi perannya sebagai penyeimbang di tengah dunia multipolar.
Maka, konflik Israel–Turkiye tidak boleh dibaca sebagai drama asing, melainkan bagian dari kepentingan strategis kita sendiri.
Oleh karenanya, pertarungan di Timur Tengah adalah pertarungan tentang siapa yang berhak mendefinisikan masa depan kawasan.
Apakah ia akan tunduk pada bayang-bayang hegemoni Israel yang diperkuat patron global, ataukah ia akan bangkit menuju keseimbangan baru yang lahir dari resistensi, solidaritas, dan diplomasi lintas kawasan?
Api ini mungkin tak pernah padam, tetapi ia juga menyala sebagai pengingat bahwa dunia selalu memiliki pilihan: menyerah pada dominasi, atau menyalakan harapan akan tatanan yang lebih adil.
Dan bagi Indonesia, pilihan itu jelas: berpihak pada perdamaian, pada keadilan, dan pada amanat abadi untuk ikut serta menertibkan dunia.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS Chairman of the Board of Trustees Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI) .