Indonesia Harus Menyikapi Perang Global Bahan Baku Tanah Jarang
Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak pernah lahir dari logika ketakutan, melainkan dari keberanian moral untuk menegakkan martabat manusia dan mengukir masa depan bersama. Pancasila mengamanatkan bahwa kemanusiaan, kedaulatan politik, keadilan sosial, dan kesejahteraan kolektif harus berjalan seirama — termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam yang dianugerahkan Tuhan.
Di era ketika mineral strategis menjadi denyut nadi peradaban, nilai-nilai tersebut tidak kehilangan relevansi justru semakin menentukan arah kebijakan geopolitik dan ekonomi. Bersamaan pula Asta Cita sebagai strategi pembangunan jangka panjang bangsa menegaskan tugas historis Indonesia: membangun kemandirian ekonomi, industrialisasi bernilai tambah, lompatan teknologi, dan ketahanan pertahanan nasional.
Semua itu tidak dapat diwujudkan bila bangsa ini masih bergantung pada negara lain dalam mengakses mineral kritis khususnya logam tanah jarang yang menjadi penopang peradaban digital, energi terbarukan, dan sistem pertahanan modern. Di tengah globalisasi yang tampak tanpa batas, justru rantai pasok inilah yang membuktikan bahwa kekuatan selalu punya pusat gravitasi. Ketika rivalitas AS Tiongkok memasuki fase perang teknologi, logam tanah jarang, pemurnian Rare Earth Elements (REE), menjadi medan kontestasi yang lebih senyap tetapi jauh lebih menentukan.
Industri jet tempur, kapal perang, satelit, sistem radar semua membutuhkan tanah jarang. Maka dari sudut pandang nilai, perebutan tanah jarang bukan hanya isu pasar, tetapi ujian harga diri bangsa. Kedaulatan bukan hanya soal menjaga perbatasan, tetapi juga menguasai sumber daya strategis yang menentukan arah masa depan. Dari bila Indonesia gagal mengelola mineral kritis secara berdaulat, maka Asta Cita hanya akan menjadi slogan; sebaliknya, bila kekayaan mineral dijadikan fondasi industrialisasi nasional, bangsa besar ini dapat memasuki babak baru sebagai pusat teknologi dunia.
Kenyataan global menunjukkan betapa dunia kini dikendalikan bukan lagi oleh dentuman kapal perang atau letusan senjata, melainkan oleh keputusan senyap yang mengguncang rantai pasok industri. Pada April 2025, ketika Tiongkok memperketat kontrol ekspor tanah jarang, dunia seperti terhenyak menyaksikan bagaimana kekuasaan geopolitik bekerja tanpa suara. Dalam hitungan minggu, Ford terpaksa menghentikan sebagian produksi di Chicago, Uni Eropa memperingatkan potensi penutupan pabrik pada awal Juni, dan harga magnet permanen komponen inti dari kendaraan listrik dan radar militer melambung tinggi.
Mineral menjadi bahasa kekuasaan baru. Dunia memasuki abad ketika dominasi tidak lagi dibangun melalui aliansi militer, tetapi melalui kendali atas bahan baku yang menghidupkan perangkat digital, energi hijau, dan sistem pertahanan. Merespons keadaan ini, negara-negara besar mempercepat pembangunan apa yang mereka sebut “benteng mineral.” Amerika Serikat dan Australia memperkuat konsorsium pasokan; Uni Eropa mempercepat fasilitas pemurnian di Estonia dan Prancis; India membatasi ekspor untuk pembangunan industri dalam negeri dan memosisikan diri sebagai pemasok alternatif Indo-Pasifik.
Justru di tengah turbulensi global itu, pertanyaan paling krusial hadir untuk kita: “di manakah posisi Indonesia?” Indonesia bukan sekadar penonton. Dengan cadangan REE di Bangka Belitung, potensi bauksit di Kalimantan, dan nikel di Sulawesi, Indonesia memiliki kombinasi unsur paling dicari untuk industri energi terbarukan dan pertahanan modern. Namun potensi ini belum menjelma menjadi kekuatan strategis. Tanah jarang masih kerap dibahas sebagai wacana, bukan dirumuskan sebagai prioritas pembangunan nasional.
Pancasila mengajarkan keadilan sosial dan kedaulatan politik, bahwa kekayaan alam harus meningkatkan martabat rakyat, memperkuat kemandirian, dan menciptakan kemajuan ilmu pengetahuan. Asta Cita menuntut agar bangsa ini naik kelas: dari pengekspor bahan mentah menjadi pusat teknologi dan pertahanan. Karena itu, paradigma pembangunan mineral “berapa besar kita menambang”, harus diganti menjadi: “berapa besar nilai teknologi yang dapat kita ciptakan?”.
Indonesia memerlukan tata kelola nasional yang mengintegrasikan pemurnian tanah jarang, riset material, industri magnet permanen, elektronik pertahanan, baterai, superkomputer, dan teknologi energi terbarukan. Mineral tidak dibiarkan mengalir keluar sebagai material mentah, tetapi dikonversi menjadi lompatan peradaban.
Soalnya dari perspektif geopolitik, pertanyaan strategis berikutnya adalah: bagaimana Indonesia bersikap dalam persaingan kekuatan besar? Jawabannya bukan memilih kubu, tetapi menata kemitraan. Jepang, Korea Selatan, India, Uni Eropa, hingga negara-negara Teluk dapat menjadi mitra litbang dan hilirisasi tanpa harus mengorbankan hubungan ekonomi dengan Tiongkok. Kebijakan luar negeri bebas aktif memberi Indonesia legitimasi moral untuk mengadvokasi tata kelola mineral kritis yang damai, transparan, dan berkelanjutan.
REE bukan harus menjadi percikan konflik; ia dapat menjadi instrumen diplomasi ekonomi dan stabilitas Indo-Pasifik. Industrialisasi tanah jarang tidak boleh mengulang tragedi kutukan sumber daya kekayaan yang justru memiskinkan masyarakat lokal, menciptakan ketimpangan, dan menghancurkan ekologi.
Keuntungan mineral kritis harus mengalir pada beasiswa teknologi, peningkatan pendidikan daerah, pusat riset material, penciptaan lapangan kerja teknologi tinggi, dan distribusi ekonomi lintas generasi. Tambang yang dikelola dengan nilai Pancasila bukan hanya menghasilkan pendapatan, tetapi membangun martabat manusia.
Dan di titik itu, babak sejarah sedang menunggu pilihan Indonesia. Apakah kita hanya akan menjadi pasar dunia, atau pemilik masa depan? Apakah kita kembali jatuh pada pola lama mengekspor tanah air dan mengimpor masa depan atau menempuh lompatan sebagai bangsa produsen teknologi? Sejarah memberikan peringatan, tetapi juga kesempatan. Bila kita diam, maka masa depan akan ditentukan oleh bangsa lain. Tetapi bila kita menata ekosistem mineral kritis dengan keberanian politik, visi peradaban, dan investasi ilmu pengetahuan, Indonesia tidak hanya akan menjadi pemasok mineral, tetapi pusat teknologi dan kekuatan industri dunia.
Dunia sedang menulis babak baru perebutan bahan baku yang membentuk wajah peradaban. Indonesia tidak boleh sekadar membaca halaman sejarah. Indonesia harus menulisnya dengan nilai Pancasila sebagai fondasi, Asta Cita sebagai kompas pembangunan, ilmu pengetahuan sebagai senjata peradaban, dan tekad bahwa kesejahteraan rakyat adalah tujuan tertinggi kedaulatan.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
adalah DIRJEN SOSPOL DEPDAGRI RI 1999-2001 DAN GUBERNUR LEMHANNAS RI 2001-2005.
Mantan Gubernur Institut Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI) (2001–2005)
