Asta Cita Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Dan Pemerataan
Jelang memasuki tahun 2026, Indonesia berdiri pada dinamika sejarah yang menarik: sebuah momentum ketika idealisme pembangunan, stabilitas makroekonomi, dan visi jangka panjang mulai menemukan irama yang selaras. Dalam konteks inilah Asta Cita hadir bukan sekadar sebagai daftar prioritas pemerintah, tetapi sebagai kerangka moral, strategis, dan geopolitik yang menghubungkan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan.
Asta Cita menjadi visi tentang bangsa yang ingin tumbuh tanpa meninggalkan, maju tanpa meminggirkan, dan sejahtera tanpa meruntuhkan nilai-nilai dasar kehidupan bersama. Di bawah payung Pancasila, Asta Cita memformulasikan logika bahwa kesejahteraan tidak dapat dijalankan hanya sebagai kalkulasi ekonomi; ia juga merupakan etika publik, politik kehadiran negara, dan arsitektur pemerataan yang menyeimbangkan kompetisi global dengan kebutuhan rakyat di setiap kepulauan Nusantara.
Optimisme memasuki 2026 bukan sekadar harapan normatif, melainkan hasil dari serangkaian indikator yang menunjukkan bahwa daya tahan ekonomi Indonesia mampu bertahan di tengah ketidakpastian global. Dalam pidato, diskusi publik, serta arah kebijakan fiskalnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memancarkan satu pesan kunci: Indonesia bukan hanya ingin tumbuh, tetapi siap tumbuh lebih cepat dari sebelumnya.
Proyeksi pertumbuhan mencapai enam persen pada 2026 bukan angka magis; ia adalah peta jalan berdasarkan konsolidasi fiskal yang disiplin, stimulus terukur kepada sektor produktif, serta stabilitas makro yang dijaga secara intensif. Pertumbuhan ini juga menggambarkan keberhasilan Indonesia dalam mempertahankan momentum pasca-pandemi, mengendalikan inflasi, serta memperluas ruang fiskal tanpa mempertaruhkan kredibilitas anggaran negara.
Pertumbuhan yang tinggi tidak otomatis menjamin keadilan sosial, memang. Tetapi di sinilah Asta Cita plays a critical role: it rejects the assumption that growth can be evenly enjoyed without deliberate and strategic policy intervention. Gross Domestic Product (GDP), by nature, is an aggregate outcome—it captures national achievements but often fails to reflect the distribution of welfare at the local level.
Dari itu Asta Cita places equity as an explicit objective—not a passive consequence. Equity within Asta Cita memainkan peran kritis: ia menolak gagasan bahwa pertumbuhan dapat dinikmati secara merata tanpa rekayasa kebijakan yang strategis. Pertumbuhan domestik bruto (PDB) pada dasarnya, adalah hasil agregat; ia menghimpun capaian nasional, tetapi sering gagal mencerminkan distribusi kesejahteraan di tingkat lokal.
Kebijakan fiskal diarahkan untuk memperkuat ketahanan pangan, memperluas jaringan perlindungan sosial, dan mempercepat proyek-proyek infrastruktur yang menyasar daerah tertinggal. Ini adalah bentuk pemerataan yang bersifat produktif: bukan sekadar distribusi sumber daya, tetapi pembentukan kemampuan yang memungkinkan masyarakat daerah mengakselerasi pertumbuhan mereka sendiri.
Bersamaan pula Asta Cita mengarahkan transformasi struktural melalui empat strategi besar: penguatan sumber daya manusia, industrialisasi dan hilirisasi, pemerataan regional, serta transisi menuju ekonomi berkelanjutan. Pembentukan kualitas SDM melalui reformasi pendidikan vokasi, digitalisasi pendidikan, dan perluasan layanan dasar menjadi pilar utama agar bonus demografi benar-benar menjadi kekuatan, bukan beban.
Hilirisasi memastikan bahwa nilai tambah industri tidak lagi berhenti di pelabuhan ekspor, melainkan berputar di dalam negeri, membuka pekerjaan, membentuk pusat-pusat manufaktur daerah, dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Sedangkan pemerataan wilayah menjadi strategi yang tak kalah penting. Indonesia bukan hanya Jakarta, Jawa, atau pusat industri besar. Indonesia adalah 17.507 pulau, ratusan suku bangsa, dan beragam ekosistem ekonomi.
Asta Cita berupaya menempatkan pembangunan sebagai gerakan simultan dari barat ke timur, dari pusat ke pinggiran. Pembangunan infrastruktur konektivitas, digitalisasi layanan publik, dan pemberdayaan ekonomi lokal menjadi fondasi pemerataan struktural yang tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar semata. Pemerintah sadar bahwa tanpa kehadiran negara, logika ekonomi cenderung mengalir ke titik-titik yang sudah maju.
Di sinilah nilai-nilai Pancasila—terutama sila kelima dan keadilan distributif—dijadikan prinsip operasional dalam kebijakan publik. Maka memasuki 2026, Indonesia melihat peluang besar: stabilitas politik yang terjaga, kredibilitas fiskal yang meningkat, posisi geopolitik yang semakin strategis di Indo-Pasifik, serta transformasi industri yang mulai menunjukkan hasil.
Tahun 2026 adalah momentum untuk melanjutkan percepatan. Ketika negara-negara besar menghadapi perlambatan ekonomi, Indonesia berpotensi mengisi celah sebagai motor -pertumbuhan kawasan. Optimisme ini tidak boleh membuat kita abai terhadap tantangan struktural: ketimpangan antardaerah, ancaman disrupsi digital terhadap tenaga kerja, ketergantungan impor pangan tertentu, dan risiko fiskal dalam jangka panjang.
Di sinilah Asta Cita perlu diejawantahkan bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai arah kerja yang konsisten. Karena itu, Asta Cita mengundang kita melihat ekonomi bukan sebagai angka, tetapi sebagai narasi tentang harkat manusia. Ketika akses pendidikan merata, manusia Indonesia dapat bermimpi lebih tinggi. Ketika infrastruktur menjangkau pulau-pulau terpencil, pasar baru terbuka, dan seluruh daerah diberi kesempatan untuk menyumbang pada kemajuan nasional.
Ketika UMKM memperoleh pembiayaan murah dan pendampingan, kreativitas rakyat dapat menjadi sumber daya produktif. Dan ketika hilirisasi menciptakan peluang kerja bernilai tambah, anak-anak muda di daerah tidak lagi harus meninggalkan kampung untuk mencari penghidupan.
Asta Cita memberi kita harapan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat menjadi narasi kemanusiaan bahwa pembangunan bukan sekadar memindahkan grafik ke atas, tetapi memindahkan kehidupan rakyat ke arah yang lebih adil. Tahun 2026 adalah pintu yang terbuka; optimisme bukan kemewahan, tetapi energi yang menggerakkan transformasi.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
Rector of IPDN (2015–2018)
Director General of Socio-Politics, Ministry of Home Affairs of the Republic of Indonesia (1999–2001)
Governor of Lemhannas RI (2001–2005)
