Strengthening Jakarta–Moscow Axis Amid the New Direction of Global Geopolitics
PERTEMUAN Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Istana Kremlin, Rusia, pada 10 Desember 2025, bukan sekadar seremoni bagi dua negara yang telah lama saling mengenal, melainkan pula penanda arah baru politik luar negeri Indonesia yang berakar pada Pancasila dan Asta Cita. Pancasila dan Asta Cita.
Di tengah dunia yang semakin multipolar dan penuh gesekan antarblok, Indonesia hadir bukan sebagai pengikut arus, melainkan sebagai negara menengah yang menuntut ruang kedaulatannya sendiri. Keselarasan antara semangat Pancasila- khususnya sila persatuan dan prinsip perdamaian abadi— dengan visi Asta Cita mengenai kemandirian ekonomi, pertahanan kuat, dan diplomasi berdaulat, karuan saja memberi pijakan moral sekaligus strategis bagi Indonesia untuk mengelola hubungan dengan berbagai kekuatan global tanpa kehilangan jati diri.
Kedatangan Presiden Prabowo yang disambut langsung oleh pejabat tinggi Rusia, termasuk Komandan Utama Kremlin Sergey Udovenko dan Wakil Menteri Luar Negeri Andrey Rudenko, memperlihatkan besarnya perhatian Moskow terhadap Jakarta. Penyambutan dengan protokol tinggi ini bukan sekadar simbol, tetapi cerminan bahwa Rusia melihat Indonesia sebagai kekuatan penting di kawasan Indo-Pasifik.
Indo-Pasifik, dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadi kawasan yang serupa panggung rivalitas strategis antara Amerika Serikat, China, dan berbagai aliansi regional yang berusaha mempertahankan pengaruhnya. Dalam suasana global yang semakin tidak menentu itu, setiap gestur diplomatik memiliki makna geopolitik mendalam. Sementara itu, di Asia Tenggara, tidak banyak negara yang mendapatkan perlakuan serupa di Kremlin, sehingga posisi Indonesia kian terlihat menonjol.
Pertemuan tersebut bukan hanya membicarakan kepentingan bilateral, tetapi juga bagaimana Indonesia sedang membangun identitas geopolitiknya secara lebih tegas: terbuka pada kerja sama multikutu, menolak terjerembap dalam politik polarisasi, lalu menegaskan kembali prinsip “bebas aktif” yang kini diwujudkan sebagai kemandirian strategis di tengah dinamika persaingan kekuatan besar. Indonesia ingin memastikan, bahwa ia tidak diposisikan sebagai objek dalam permainan negara besar, tetapi subjek yang memiliki kehendak politik sendiri.
Dengan landasan etis Pancasila, terutama nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, serta cita-cita hubungan internasional yang damai, Indonesia memiliki ruang moral untuk berdialog dengan siapa pun tanpa beban ideologis. Maka Prabowo hadir di Kremlin membawa pesan jernih: Indonesia bersedia bekerja sama dengan berbagai pihak selama kerja sama itu mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan kepentingan bersama.
Ini membuat politik luar negeri Indonesia tetap terhormat dan dapat diterima oleh beragam mitra, termasuk mereka yang berada di luar orbit tradisional Jakarta. Dalam kacamata yang lebih luas, langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu menjaga keseimbangan antara etika diplomasi dan realitas geopolitik. Dunia sedang bergerak menuju tatanan baru yang belum selesai didefinisikan, dan dalam situasi itu Indonesia memilih navigasi yang berpijak Pancasila pada nilai-nilai Asta Cita sebagai kompas strategis.
Simbol kepercayaan strategis
Salah satu bagian paling penting dari pertemuan tersebut, tête-à-tête adalah sesi antara Presiden Prabowo dan Presiden Vladimir Putin. Tête-à-tête—istilah pinjaman dari bahasa Prancis yang secara harfiah berarti “berhadapan langsung” atau “berhadapan muka”—merujuk pada percakapan pribadi. Format ini tidak diberikan kepada setiap kepala negara.
Dalam diplomasi tingkat tinggi, tête-à-tête adalah simbol kepercayaan strategis —ruang hening di mana dua pemimpin dapat berbicara tanpa sensor protokol, tanpa interupsi staf teknis, dan tanpa batasan diplomatik formal. Inilah ruang yang memungkinkan pemetaan kepentingan paling sensitif, mulai dari stabilitas kawasan Indo-Pasifik hingga arah navigasi geopolitik global yang semakin kompleks.
Dalam konteks ini, Indonesia hadir bukan hanya sebagai tamu kenegaraan, tetapi sebagai aktor strategis yang dipandang setara oleh Moskow. Dalam diskusi privat itu, isu Indo-Pasifik hampir pasti menjadi salah satu agenda utama. Sebagai negara kepulauan yang berada di titik silang jalur dagang dunia dan pusat gravitasi baru geopolitik global, Indonesia berkepentingan memastikan kawasan tetap stabil, terbuka, dan bebas dari dominasi kekuatan tunggal.
Rusia, yang tengah mengalihkan orientasi strategisnya ke Asia setelah ketegangan berkepanjangan dengan Barat, melihat Indo-Pasifik sebagai ruang perluasan jejaring ekonomi, militer, dan politik. tête-à-tête ini memungkinkan kedua pemimpin menyelaraskan pandangan tentang bagaimana kerja sama dapat dibangun tanpa menambah ketegangan kawasan —sebuah dialog yang sangat relevan mengingat meningkatnya rivalitas antara Amerika Serikat, China, dan aliansi-aliasi regional.
Dari perspektif kepentingan nasional Indonesia, percakapan privat tersebut menjadi kesempatan untuk menegaskan kembali prinsip kemandirian strategis yang kini menjadi pondasi politik luar negeri Jakarta. Indonesia ingin memastikan bahwa Rusia memahami posisinya: Indonesia tidak berada dalam orbit siapa pun, tetapi menawarkan kemitraan setara yang berbasis kepentingan bersama.
Ada dimensi historis yang memperkuat kepercayaan ini. Hubungan Indonesia–Uni Soviet pada masa Presiden Ir. Soekarno memperlihatkan bagaimana kedua negara pernah bekerja sama dalam membangun pangkalan-pangkalan strategis, sektor teknologi, dan pertahanan. Kini, hubungan itu berkembang ke arah kemitraan yang lebih modern, pragmatis, dan saling melengkapi —terutama dalam konteks kebutuhan Indonesia memperkuat ketahanan energi dan teknologi pertahanan.
Di tingkat kawasan, tête-à-tête tersebut mencerminkan cara Indonesia memainkan peran sebagai penyeimbang alami dalam dinamika Indo-Pasifik. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan poros strategis ASEAN, Indonesia berusaha menjaga agar kawasan tidak terseret terlalu jauh ke salah satu poros kekuatan besar. Dengan membuka ruang dialog intensif dengan Rusia, Indonesia memperluas cakrawala diplomatik ASEAN –sekaligus menegaskan bahwa kawasan ini tidak boleh menjadi arena perebutan pengaruh tanpa mempertimbangkan suara negara-negara di dalamnya.
Langkah ini memperlihatkan bagaimana diplomasi Indonesia bekerja simultan: merawat stabilitas kawasan, memperkuat posisi tawarnya, dan menjaga otonomi strategis di tengah kompetisi global. Semua itu berpijak pada nilai-nilai Pancasila sebagai kompas moral, sekaligus kerangka strategis diplomasi Indonesia.
Prinsip kemanusiaan, keadilan sosial, dan komitmen pada perdamaian dunia tercermin dalam pilihan Indonesia untuk mengedepankan dialog, bukan konfrontasi; kemitraan, bukan ketergantungan; dan keseimbangan, bukan polarisasi. Pertemuan tête-à-tête ini menjadi wujud nyata bagaimana Indonesia menerjemahkan Pancasila dalam geopolitik modern — bahwa di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, Indonesia tetap memilih jalan yang tegak, terbuka, dan berdaulat, sambil memainkan peran konstruktif di tingkat regional maupun global.
"Chemistry" antar-pemimpin
Tambahan pula pada jamuan makan siang yang diselenggarakan Presiden Putin untuk menghormati Presiden Prabowo melampaui protokol: ia adalah arena simbolik di mana nuansa personal dan gestur diplomatik membentuk modal sosial yang berujung pada keputusan nyata. Di meja yang sama, senyum, isyarat tangan, dan percakapan ringan meredakan ketegangan formal sehingga muncul ruang kepercayaan interpersonal — syarat penting ketika agenda-agenda sensitif akan dibicarakan kemudian.
Simbolisme semacam itu bukan hiasan; ia adalah alat politik yang memperhalus lobi teknis, membuka pintu bagi tim-tim teknis, dan mempercepat negosiasi yang pada level formal seringkali berputar lama. Dalam konteks Indonesia yang mengusung Pancasila, jamuan itu juga menjadi wujud diplomasi beradab: penghormatan sebagai awal dari kemitraan yang adil dan saling menghormati.
Hubungan personal antar-pemimpin kerap menjadi katalis bagi kerja sama bilateral yang lebih substansial. Sejarah menunjukkan bagaimana chemistry-antar pemimpin mempercepat aliansi strategis, atau memudahkan kompromi — dari Roosevelt–Churchill hingga hubungan regional yang efektif. Prabowo dan Putin, yang sama-sama dipandang figur tegas dan berorientasi pada stabilitas, dapat memanfaatkan kedekatan personal untuk menyepakati langkah-langkah konkret dalam investasi, transfer teknologi, dan skema kerja sama pertahanan yang terskema rapi.
Ketika komunikasi di level puncak lancar, mekanisme-negosiasi di bawahnya — kontrak energi, proyek infrastruktur, hingga kerangka kerja sama penelitian — cenderung menemui momentum yang lebih cepat dan implementatif.
Maka secara bilateral, jamuan tersebut membuka cakrawala agenda nyata: energi (pasokan dan investasi), industri maritim, rantai pasok pangan dan komoditas strategis, serta teknologi pertahanan dan transfer know-how. Bagi Indonesia, kemitraan yang diperkuat dengan Rusia bisa mengurangi ketergantungan pada pasar tunggal, dan memperkaya pilihan diversifikasi sumber — sebuah aspek penting bagi kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional.
Di sisi praktis, pertemuan santai itu berfungsi sebagai titik awal untuk pembicaraan teknis tentang lisensi, joint venture, dan skema pembiayaan yang sifatnya jangka menengah hingga panjang; hal-hal yang secara langsung menyentuh kesejahteraan dan kapasitas industri dalam negeri.
Jamuan yang penuh arti itu juga harus dibaca dalam kacamata geopolitik kawasan dan global. Indo-Pasifik saat ini adalah arena persaingan multipolar, di mana kebijakan negara menengah dipengaruhi oleh dinamika antara kekuatan besar dan aliansi-aliansi regional. Indonesia perlu menjaga bahwa penguatan relasi bilateral dengan Rusia tidak mengurangi peran sentralnya dalam ASEAN, maupun kemampuannya untuk menjadi penyeimbang regional.
Pada level global, kerja sama yang intensif dengan satu pihak juga mesti dirancang cermat agar tidak memantik konsekuensi negatif — misalnya pada akses pasar ketiga atau risiko terseretnya kepentingan kawasan ke dalam sirkuit rivalitas yang lebih besar.
Indonesia aktor sentral
Pertemuan Presiden Prabowo dan Presiden Putin ini berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan global, ketika rivalitas Amerika Serikat dan China kian mempertajam garis pemisah dalam tatanan internasional. Di saat yang sama, Rusia memperkuat orientasi geopolitiknya ke Asia sebagai respons atas resistensi yang berlarut dari negara-negara Barat terhadap kebijakan Moskow.
Kawasan Indo-Pasifik pun tampil sebagai panggung utama kompetisi abad ke-21 —ruang di mana jalur perdagangan, energi, teknologi, dan keamanan militer saling bersilangan dan menentukan arah masa depan dunia. Tidak berlebihan bila pertemuan Prabowo–Putin dibaca sebagai manuver penting dalam lanskap strategis yang sedang berubah cepat.
Di tengah dinamika tersebut, Indonesia tidak lagi dapat berdiri sekadar sebagai pengamat. Dengan posisi geostrategis yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik, populasi terbesar keempat di dunia, serta ekonomi yang tumbuh stabil, Indonesia adalah aktor sentral yang dipantau oleh semua kekuatan besar. Jadi pertemuan Prabowo–Putin memperlihatkan, Indonesia memilih untuk mengambil peran aktif dalam membentuk arsitektur Indo-Pasifik yang damai, stabil, dan inklusif. Ini jelas menjadi pilihan rasional dari negara yang memahami bahwa masa depannya ditentukan oleh kemampuannya, menavigasi dinamika global yang tidak bersahabat.
Dalam proses itu, Pancasila kembali menjadi kompas moral dan politik yang membimbing arah kebijakan luar negeri Indonesia. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, serta komitmen pada perdamaian dunia, memberikan legitimasi bagi Indonesia untuk bertindak sebagai jembatan komunikasi antara kekuatan besar yang semakin menjauh satu sama lain.
Indonesia tidak berkepentingan memperkeruh situasi kawasan; justru, stabilitas adalah prasyarat penting bagi agenda nasional seperti industrialisasi, hilirisasi sumber daya alam, dan transformasi digital. Tanpa stabilitas kawasan, rencana besar Indonesia untuk naik kelas dalam ekonomi global akan terus menghadapi hambatan.
Maka kerja sama dengan Rusia menjadi salah satu strategi diversifikasi mitra yang masuk akal. Ketergantungan pada satu blok kekuatan adalah risiko strategis bagi negara sebesar Indonesia, sehingga membuka kanal kerja sama baru dengan Rusia memperluas ruang manuver, sekaligus memperkuat daya tawar Jakarta.
Russia has capabilities in energy, defense technology, food technology, and space—fields relevant to Indonesia’s long-term development agenda. Diversifying cooperation also makes Indonesia more resilient amid rapidly changing global economic and security dynamics.
Rusia memiliki kapabilitas di sektor energi, teknologi pertahanan, teknologi pangan, dan ruang angkasa — bidang-bidang yang relevan dengan agenda pembangunan Indonesia dalam jangka panjang. Diversifikasi kerja sama ini juga membuat Indonesia lebih resilien dalam menghadapi dinamika ekonomi dan keamanan global yang mudah berubah. Bagi Rusia sendiri, Indonesia bukan hanya mitra bilateral, tetapi juga pintu strategis menuju Asia Tenggara — kawasan yang tumbuh menjadi pusat ekonomi baru dunia, dan arena penting dalam persaingan pengaruh global. Pertemuan ini, bila diikuti langkah implementatif yang terukur, dapat melahirkan kerja sama yang lebih pragmatis dan saling menguntungkan. Indonesia memperkuat kemandirian strategisnya, sementara Rusia mendapatkan akses yang lebih besar ke kawasan yang dulu relatif berada di luar orbit geopolitiknya.
Dengan demikian, pertemuan Prabowo–Putin tidak hanya berarti bagi kedua negara, tetapi juga bagi konfigurasi geopolitik kawasan dan global yang sedang mencari keseimbangan baru.
Pertemuan ini tidak hanya memperkuat chemistry politik di tingkat kepemimpinan, tetapi juga membuka jalan bagi kerja sama struktural dan jangka panjang. Dalam lanskap global yang bergerak menuju multipolaritas baru, penguatan hubungan bilateral semacam ini memberikan Indonesia ruang untuk memperkuat posisi tawarnya di tengah persaingan antar negara adidaya.
Di sektor pertahanan, peluang modernisasi alat utama sistem senjata menjadi fokus yang relevan. Indonesia saat ini menempuh strategi diversifikasi untuk memastikan kemandirian pertahanan nasional, dan Rusia yang memiliki tradisi panjang dalam teknologi militer menawarkan potensi kerja sama yang melampaui transaksi. Pendekatan produksi bersama, transfer teknologi, hingga peningkatan kemampuan industri pertahanan domestik adalah agenda yang semakin realistis. Ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo untuk membangun postur pertahanan yang kuat, fleksibel, dan mampu menyesuaikan diri dengan tantangan regional.
Di bidang energi, kerja sama yang lebih luas menjadi kebutuhan strategis jangka panjang. Rusia memiliki kapabilitas dalam eksplorasi minyak dan gas, serta pengalaman dalam pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai. Semua itu sangat relevan bagi Indonesia yang tengah mengejar ketahanan energi, memperkuat cadangan strategis, dan mencari diversifikasi sumber pasokan. Kolaborasi energi tersebut bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga bagian dari geostrategi Indonesia untuk memastikan stabilitas pasokan dalam dunia yang penuh gejolak.
Bersamaan pula potensi kerja sama teknologi pangan, teknologi antariksa, dan pendidikan membuka dimensi strategis lain dalam hubungan kedua negara. Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak teknisi, ilmuwan, dan perwira Indonesia pernah menempuh pendidikan di Rusia, memberikan fondasi kepercayaan yang telah teruji. Di tengah perlombaan teknologi global, memperkuat kerja sama akademik dan riset – tentu saja dapat menciptakan generasi baru teknokrat Indonesia yang mampu bersaing secara global, dan mendukung transformasi ekonomi nasional berbasis pengetahuan.
Dalam kerangka Pancasila khususnya keadilan sosial dan persatuan bangsa— kemitraan tersebut dapat memperkuat ketahanan nasional Indonesia, sekaligus memperluas jejaring diplomasi yang adaptif di tengah ketidakpastian global.
Pertemuan Prabowo–Putin akhirnya bukan hanya bab diplomasi, tetapi bab sejarah: Indonesia sedang menentukan posisinya dalam tatanan dunia baru yang multipolar, penuh tantangan, namun juga penuh peluang bagi negara yang berani menegosiasikan masa depannya sendiri.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, REKTOR IPDN 2015-2018, DIRJEN SOSPOL - DEPDAGRI RI 1999-2001, DAN GUBERNUR LEMHANNAS RI 2001-2005.
