Perang Posmodern Dan Peluang Indonesia Di Era Geopolitik Trump

Kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2 April 2025, yang dikenal sebagai Reciprocal Tariffs- menandai babak baru dalam arsitektur perdagangan global. Dalam langkah yang bersifat unilateral, Trump menetapkan tarif minimum sebesar 10% untuk seluruh produk impor dan tarif tambahan hingga 32% untuk negara-negara tertentu, termasuk Indonesia.
Kebijakan ini mencerminkan penegasan kembali pada prinsip ekonomi nasionalisme, dengan tujuan utama memperkuat basis industri domestik dan mengoreksi defisit perdagangan Amerika. Namun, dalam lanskap global yang saling terhubung, proteksionisme semacam ini mengandung risiko geopolitik yang serius: merusak tatanan perdagangan multilateral, memicu perang dagang, dan mengguncang stabilitas rantai pasok internasional.
Dalam konteks inilah muncul fenomena perang posmodern yakni pertarungan kepentingan negara yang tidak lagi hanya berlangsung di medan militer, tetapi juga di arena kebijakan ekonomi dan tarif. Bagi Indonesia, dampak dari tarif impor AS yang tinggi terasa nyata dan langsung, terutama di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan produk perikanan yang selama ini bergantung pada pasar Amerika.
Kebijakan Trump bukan semata-mata isu perdagangan, tetapi menjelma menjadi tantangan strategis yang menguji ketahanan ekonomi nasional dan ketajaman diplomasi ekonomi Indonesia. Pemerintah pun merespons secara sigap, dengan mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC, menunjukkan bahwa tekanan ini tidak dianggap remeh.
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, koordinasi lintas kementerian diaktifkan guna mengantisipasi eskalasi konflik dagang dan mencari ruang manuver. Strategi diplomasi ekonomi menjadi sangat penting dalam menjaga akses pasar, sambil mempersiapkan skenario diversifikasi mitra dagang demi mengurangi ketergantungan pada pasar tunggal.
Dampak dari kebijakan ini tidak berhenti pada sektor perdagangan semata. Dari perspektif makroekonomi, kebijakan tarif Trump berpotensi menekan nilai tukar rupiah. Sentimen negatif yang dipicu oleh ketidakpastian global, diperburuk oleh ketergantungan pada ekspor komoditas dan kebutuhan impor yang tinggi, menciptakan tekanan ganda bagi stabilitas fiskal dan moneter nasional. Dalam kondisi ini, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan sektor riil menjadi mutlak diperlukan.
Dari itu ketahanan ekonomi Indonesia diuji tidak hanya dalam kemampuan menjaga nilai tukar dan mengendalikan inflasi, tetapi juga dalam kemampuannya memproyeksikan kepastian jangka panjang kepada pelaku ekonomi. Soalnya kegagalan merespons dengan tepat, dapat membuat Indonesia semakin rentan di tengah arus globalisasi yang berubah arah. Menariknya, tekanan dari kebijakan proteksionis Amerika justru mendorong pemerintahan Prabowo untuk merumuskan strategi yang lebih komprehensif dan progresif.
Tiga kebijakan utama yang disiapkan, adalah perluasan mitra dagang, hilirisasi sumber daya alam, dan penguatan konsumsi domestik. Tiga langkah ini bukan semata reaksi atas tekanan luar, tetapi juga bentuk proyeksi kekuatan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Presiden Prabowo tidak hanya menanggapi kebijakan tarif dengan keluhan diplomatik, tetapi memanfaatkannya sebagai momentum untuk memulai transformasi struktural.
Dalam konteks inilah terlihat pendekatan baru Indonesia terhadap geopolitik ekonomi global—yakni pergeseran dari posisi reaktif menjadi inisiatif strategis. Dunia sedang memasuki fase post-globalization , di mana solidaritas ekonomi tidak lagi menjadi norma dominan, dan negara-negara harus mengandalkan kekuatan domestik dan aliansi alternatif untuk bertahan.
Salah satu langkah paling strategis, adalah orientasi baru Indonesia dalam memperluas mitra dagang melalui skema seperti BRICS, RCEP, serta penguatan kerja sama bilateral dengan negara-negara Global South. Strategi ini dikenal dalam teori perdagangan internasional sebagai trade reorientation, yaitu pengalihan ketergantungan dari pasar tradisional ke pasar non-tradisional untuk menurunkan risiko eksternal.
Tak kalah penting, penguatan konsumsi domestik menjadi fokus utama dalam menjaga stabilitas permintaan di tengah pelemahan pasar ekspor. Program Makan Bergizi Gratis, serta pembentukan Koperasi Desa Merah Putih , menunjukkan bahwa pemerintah Prabowo tidak hanya bertumpu pada kebijakan makro, tetapi juga menyentuh aspek sosial yang krusial. Dengan kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB yang mencapai lebih dari 50%, kebijakan ini memiliki nilai strategis dalam menjaga mesin pertumbuhan nasional tetap hidup.
Dalam kerangka pembangunan yang inklusif, upaya ini menghubungkan kembali antara kebijakan ekonomi makro dengan kesejahteraan masyarakat akar rumput. Dengan kata lain, strategi ini bukan hanya tentang bertahan dari tekanan tarif Trump, tetapi juga tentang memperkuat pondasi ekonomi domestik agar tidak mudah goyah di tengah gejolak global.Dengan demikian, kebijakan tarif Trump bukanlah akhir dari cerita, melainkan titik balik bagi Indonesia dalam membaca arah baru geopolitik ekonomi dunia.
Dengan demikian, kebijakan tarif Trump bukanlah akhir dari cerita, melainkan titik balik bagi Indonesia dalam membaca arah baru geopolitik ekonomi global.
Dunia sedang menyaksikan lahirnya perang posmodern, di mana dominasi tidak lagi ditentukan oleh tank dan misil, tetapi oleh tarif, mata uang, dan kontrol atas sumber daya strategis. Dalam kondisi ini, Indonesia tidak bisa hanya berharap pada kompromi diplomatik, tetapi harus membangun daya tahan dari dalam: melalui diversifikasi pasar, hilirisasi industri, serta revitalisasi konsumsi dan distribusi domestik.
Pemerintahan Prabowo Subianto tampaknya menyadari sepenuhnya, bahwa tantangan ekonomi hari ini tidak terlepas dari pertarungan geopolitik global. Dalam dunia yang semakin multipolar dan sarat dengan rivalitas, hanya negara dengan ketahanan struktural yang mampu tetap relevan dan berdaulat. Dan Indonesia, bila konsisten menjalankan transformasi strategis ini, memiliki peluang besar untuk bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia dan dunia.
Prof. Dr. Drs, Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005). Kini Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitic and Strategy ¬Studies of Indonesia (CGSI)